26 Tahun dan Mengapa Saya Masih Saja Hidup

Atolah Renanda Yafi
6 min readAug 26, 2020

--

Hari ini tepat 26 tahun yang lalu ibu melahirkan anak keduanya di tengah kesendirian, dan mungkin hanya ditemani oleh para perawat di rumah sakit. Kala itu ayah dan kakak masih menikmati indahnya sabtu sore tanpa mengetahui kabar kelahiran saya. Berita itu baru tiba kepada mereka ketika seorang tetangga, yang baru saja mendapat telpon dari rumah sakit, mendatangi rumah kami. Maklum, kami belum memasang pesawat telepon di rumah. Alhasil, saya lahir dalam kesepian tanpa ada sambutan dari siapapun, tanpa ada degup gemetar keluarga terdekat, tanpa ada kumandang adzan yang membisiki telinga. Konon begitu cerita kelahiran saya. Entah benar atau tidak, hanya anggota keluarga yang tahu, kecuali saya.

Nyatanya, kita tak pernah benar-benar tahu bagaimana kita lahir. Susah pula bagi kita untuk mengingat memori paling awal dalam hidup, semua memori masa kecil hanya bisa kita panggil dalam bentuk serpihan-serpihan yang tak pernah utuh, tak pernah mendetail, tanpa waktu ataupun tempat yang jelas dan tepat. Kita datang ke dunia hanya dalam rangkaian kebetulan yang perlahan menjadi kesadaran, tanpa pernah kita tahu caranya atau bahkan alasannya.

Jangankan bertanya mengapa kita lahir, bertanya bagaimana kita lahir saja sulitnya minta ampun. Semua orang dalam keluarga yang usianya jauh lebih tua mungkin bisa menjawab hal tersebut, tetapi kita tak pernah bisa memverifikasi kebenarannya. Pun, bisa saja mereka semua membuat kebohongan kolektif atas kelahiran kita. Apa daya, kita hanya menjalani hidup tanpa pernah memiliki pengetahuan utuh atas asal muasal. Semua hanya bermodalkan pada kepercayaan yang entah telah ditanamkan dengan kuat atau lemah.

Pertanyaan atas mengapa kita lahir tampaknya lebih tidak penting untuk dipertanyakan. Ia kian lama kian terasa sebagai omong kosong belaka. Jawaban-jawaban esensialis cum moralis dari agama mungkin akan mengatakan bahwa kita memiliki tujuan tertentu, tugas tertentu, atau latar belakang tertentu. Semakin hal itu diyakini, maka semakin percaya diri pula seseorang dalam menjalani hidupnya. Ia memiliki pegangan yang kuat tanpa perlu ketakutan akan pertanyaan-pertanyaan yang mencuat dari benaknya sendiri. Namun saya toh masih sangsi dengan segala jawaban serba sok tahu itu. Jawaban soal bahwa kita perlu berbuat baik agar masuk surga nan abadi misalnya; ia hanya mengindikasikan ketamakan manusia akan hidup yang abadi dan senantiasa mendapat kenikmatan. Tidak cukupkan bersyukur hidup di bumi tanpa perlu berkhayal akan apa yang tak jelas nantinya di alam baka? Toh, tak pernah benar-benar kita ketahui letak alam pasca kematian itu; apa yang ada hanya keyakinan belaka. Bila pahala merupakan tabungan kebaikan untuk menebus surga, bukankah berbuat baik itu pada akhirnya terlalu pamrih? Saya masih mempertanyakan keihklasan seseorang ketika berbuat baik ketika motivasinya adalah pahala, amalan, surga, atau semacamnya. Tak cukupkah berbuat kebaikan (apabila memang ada yang baik dan yang buruk) hanya karena kebaikan itu memang dibutuhkan? Terlepas dari semua itu — yang pada akhirnya hanya menghasilkan perdebatan tiada ujung jika ditanyakan pada orang lain — jawaban-jawaban asketik cum ma’rifat yang sedikit berbau panteisme terkadang terasa menyegarkan: bahwa kita semua adalah satu yang sama sekaligus berbeda, dan dari tiada yang mengada pada akhirnya akan menuju tiada lagi. Hal-hal seperti ini setidaknya cukup membuat saya merasa beragama hingga sekarang. Sufisme maupun buddhisme, yang serupa meski berbeda, sempat menjadi jawaban yang cukup menarik bagi saya untuk perkara mengapa kita lahir, meski tak pernah memuaskan. Toh, tampaknya memang tak akan ada kepuasan dalam pencarian ini.

Pada awal perkuliahan S1 saya sedikit beranjak dengan mencari jawaban — atas pertanyaan tak penting itu — dari buku-buku karangan Kierkegaard, Nietzsche, maupun Camus (saya tak terlalu membaca Sartre dan Heidegger karena gaya tulisan mereka begitu memuakkan) yang lebih menyenangkan untuk dibaca. Orang-orang ini — yang bagi kawan-kawan saya merupakan kumpulan nabi — setidaknya memberi jawaban yang lebih konstruktivis dan positif untuk menjalani hidup. Pada beberapa titik, ia membuat kita tak perlu terlalu ambil pusing atas alasan-alasan dogmatis yang telah tertanam di benak kita sedari kecil. Terlalu melelahkan. Membuang atau menghancurkan segalanya sembari membangunnya dari awal mungkin adalah hal yang lebih mungkin untuk dilakukan. Setidaknya, seperti palu, mereka dapat menghancurkan bangunan sekaligus membentuknya lagi dari awal sesuai kemampuan serta keinginan pemegangnya. Kierkegaard memberi jawaban yang cukup makrifat lewat leap of faith, apa lagi dengan Ibrahim sebagai contohnya; Nietzsche — saya belajar banyak dari beliau — mengajarkan kita soal transvaluasi nilai, kehendak berkuasa, moralitas tuan-budak, perputaran abadi, dan keseimbangan antara apolonian serta dionisian, terlepas atas mungkin atau tidaknya fase Übermensch untuk dicapai. Sedangkan dari Camus saya belajar bahwa lahir dan mati sendirilah yang membuat hidup makin absurd, tak jelas apa maksud dan tujuannya; satu-satunya jawaban mungkin adalah: keriangan untuk menjalaninya meski kita hanya melalui hal yang begitu-begitu saja. Bunuh diri sebagai sarana menjawab hidup pun rasanya terlalu optimis dan berani, mengapa tidak kita tunggu saja kematian sembari menikmati nestapa serta derita yang tiba tanpa ada henti? Menyoal Heidegger, saya tak pernah terlalu mendapat jawaban kecuali kebingungan atas faktisitas, angst, atau pula sorge.

Bacaan-bacaan omong kosong eksistensial serta novel-novel era Great Depression dan Beat Generation mewarnai masa muda saya selama kuliah S1. Kegalauan-kegalauan hidup tak jelas, yang hingga sekarang tak pernah ada jawabnya itu, hanya bermuara pada anggapan bahwa tak ada yang bisa kita lakukan selain: menjalaninya saja. Mungkin sesekali berencana tak ada salahnya, setidaknya agar kita tahu akan berjalan ke mana di tengah segala ketidakpastian yang kian meragukan, tetapi jangan sampai ada harapan di tengah semua itu. Dunia begitu sulit untuk dibaca, apa lagi ditebak, mengaturnya adalah hal yang mustahil — seperti halnya mengatur semua hal yang berhubungan dengan diri sendiri — maka, untuk apa harapan datang dalam kehidupan kita? Saya tak tak tahu lagi apa fungsinya selain untuk menghasilkan kekecewaan, satu nestapa lain yang harus kita terima ketika menjalani hidup. Menaruh harapan kepada apapun adalah ketololan hidup yang kerap kali kita lakukan.

Saya tak tahu apa lagi tujuan hidup kecuali untuk menjalaninya sebaik mungkin hingga kematian tiba. Impian-impian heroik orang-orang untuk memperbaiki dunia, menggembirakan orang lain, atau mencapai satu hal yang mengesankan tak lain hanyalah bualan tanpa wawasan. Toh, satu-satunya yang bisa kita ubah hanyalah diri sendiri dan itu sendiri merupakan hal begitu sulit. Tak ada yang bisa kita lakukan terhadap dunia luar kecuali mengamatinya, menikmatinya, dan menjalani apapun yang masih bisa kita lakukan.

Mungkin memang tepat untuk mejalani kehidupan dengan seegois mungkin. Biarkan semua hal di luar kita menjalani apapun di dunia. Tak perlu bagi kita untuk memedulikan mereka kecuali memang ada hubungannya dengan kita. Lakukan semuanya semau hati selama tak pernah merugikan orang lain. Bagaimanapun juga, merugikan pihak lain punya risiko terhadap diri kita sendiri suatu saat nanti. Berbuat baik pada orang lain juga tak ada salahnya, apa lagi di waktu luang. Asal semua yang terkait dengan diri sendiri telah beres, bersikap seegois mungkin adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini.

Sembari merayakan langkah-langkah menuju kematian di ulang tahun ke-26 ini, mempertanyakan kematian dan kelahiran tampaknya memang kian tidak relevan. Kita tak pernah sepenuhnya menemukan jawaban kecuali interpretasi dan tafsiran dari orang-orang yang memiliki waktu luang terlalu banyak. Satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah memikirkan apa yang dapat dipikirkan serta dijalani tanpa berharap apapun atas masa depan dan masa lalu. Biarkan kematian itu tiba tanpa perlu buru-buru kita jemput dengan diri sendiri. Ia telah memberi kita kelahiran dan kehidupan tanpa alasan yang jelas; biarkan pula, tanpa alasan yang jelas juga, ia menjemput kita kelak.

Selamat ulang tahun ke-26 untuk diriku sendiri. Jalani semua yang memang bisa dijalani tanpa banyak berharap akan masa depan atau merindukan masa lalu. Ingatlah bahwa tak ada yang bisa diubah kecuali diri sendiri, dan bahwa kehidupan sama sekali tak pernah memiliki makna, alasan, ataupun tujuan. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menghidupi hidup sepenuhnya sebelum ajal datang menjemput.

The government is corrupt. And we’re all on so many drugs, with the radio on and the curtains drawn. We’re trapped in the belly of this horrible machine, and the machine is bleeding to death.

Godspeed You! Black Emperor — The Dead Flag Blues

--

--