Apa itu Kognitariat?

Atolah Renanda Yafi
10 min readJan 7, 2020

--

Kerja, Hasrat, dan Depresi — Franco “Bifo” Berardi (Terjemah)

Dalam rangka memahami makna gagasan kerja kognitif dan kognitariat, penting kiranya untuk tak hanya menganalisis transformasi yang terjadi dalam proses kerja tetapi apa pula yang terjadi dalam dimensi psikis dan hasrat dari masyarakat pasca-industri. Apa yang dipertaruhkan (serta dipertanyakan) dalam definisi sosial dari kerja kognitif ialah tubuh, seksualitas, fisik yang fana, dan ketaksadaran. Kognitariat merupakan korporealitas sosial dari kerja kognitif. Dalam bukunya yang paling terkenal, Cyberculture, Pierre Lévy mengajukan gagasan kecerdasan kolektif [1]. Namun eksistensi sosial pekerja kognitif tak dapat direduksi menjadi sekadar kecerdasan: dalam kekonkretan eksistensialnya, kognitariat juga merupakan tubuh, dengan kata lain, saraf yang menegang karena perhatian yang konstan, juga mata yang lelah karena terus-terusan menatap layar. Kecerdasan kolektif tidak mengurangi atau menyelesaikan persoalan eksistensi sosial dari tubuh-tubuh yang menghasilkan kecerdasan ini, tubuh-tubuh konkret dari kognitariat lelaki maupun perempuan.

Kerja Digital dan Abstraksi

Apa makna dari bekerja di masa kini? Kerja cenderung mengasumsikan sebuah karakter fisik yang serupa: kita duduk di depan layar, menyentuh tombol-tombol keyboard dan mulai mengetik. Namun pada saat yang bersamaan, pekerjaan menjadi lebih beragam dalam hal yang ia elaborasikan. Arsitek, agen travel, programmer, dan pengacara melakukan gerakan fisik yang sama, tetapi tidak pernah dapat bertukar pekerjaan karena masing-masing dari mereka melakukan tugas lokal yang begitu spesifik, kerja yang tak dapat dikomunikasikan kepada seseorang yang belum mengikuti kursus pendidikan tertentu atau yang tidak terbiasa dengan pengetahuan-pengetahuan kompleks tertentu.

Kerja industri mekanik dicirikan oleh sifat-sifat kesepadanan (serta kebertukaran) dan depersonalisasi yang substansial dan, sebagai konsekuensinya, dirasa sebagai satu hal yang asing, sebuah tugas yang dilakukan semata-mata karena seseorang mendapatkan gaji sebagai gantinya. Pekerjaan yang bergantung gaji adalah jasa atas waktu yang benar-benar murni.

Teknologi digital memaparkan pandangan yang sama sekali baru tentang kerja. Pertama, mereka memodifikasi hubungan antara konsepsi dan eksekusi, hubungan antara konten intelektual pekerjaan dan eksekusi manualnya. Kerja manual cenderung dilakukan oleh sekumpulan mesin yang dikendalikan secara otomatis, sedangkan kerja inovatif yang memproduksi sebagian besar nilai didapati dalam kerja kognitif. Bahan yang akan diubah disimulasikan oleh sekuens-sekuens digital. Konten dari kerja berubah menjadi perkara mental, tetapi pada saat yang sama batas-batas kerja produktif menjadi tidak pasti. Gagasan produktivitas menjadi kabur: hubungan antara waktu dan kuantitas nilai yang diproduksi menjadi sulit untuk distabilkan, karena tak seluruh jam dari kerja kognitif setara dalam perkara produktivitas.

Gagasan Marxian tentang kerja abstrak perlu didefinisikan ulang. Apa yang dimaksud dengan “kerja abstrak” dalam bahasa Marx? Ia menandakan pemerasan waktu, tanpa memerhatikan kualitasnya, tanpa terkait dengan utilitas konkret dan spesifik dari objek yang ia buat. Kerja industri cenderung menuju arah abstraksi karena utilitas konkretnya sama sekali tak relevan dengan fungsi valorisasi ekonominya.

Dapatkah kita berkata bahwa reduksi progresif menuju abstraksi ini akan lanjut beroperasi di era infoproduksi? Dalam hal tertentu iya; tentu, dalam arti tertentu kita bisa mengartikan bahwa kecenderungan ini diperkuat ke taraf paling tinggi, sebab setiap residu materialis dan konkret menghilang dari operasi pengerjaan, dan hanya abstraksi simbolis yang tersisa, bit-bit, digit-digit, dan perbedaan informasi, wahana di mana aktivitas produktif bertindak. Kita dapat berkata bahwa digitalisasi atas proses kerja telah membuat segala jenis pekerjaan menjadi setara dari sudut pandang fisik dan ergonomi. Kita melakukan hal yang serupa: duduk di depan layar dan mengetuk tombol keyboard, pun mesin-mesin otomatis mengubah aktivitas kita menjadi skrip televisi, operasi bedah, atau bahkan menjadi sebuah mobil. Dari sudut pandang fisik, tidak ada perbedaan antara agen travel, operator mesin di sektor petrokimia, atau seorang novelis, ketika mereka melakukan pekerjaannya.

Namun pada saat bersamaan kerja telah menjadi bagian dari proses mental, elaborasi atas tanda-tanda yang padat dengan pengetahuan. Ia telah menjadi lebih spesifik, lebih terspesialisasi: pengacara dan arsitek, teknisi IT dan karyawan supermarket, ditempatkan di depan layar yang sama dan mengetuk tombol yang sama, tetapi yang satu tak bisa mengambil posisi yang lain karena isi dari kegiatan elaboratif mereka sangat berbeda dan tak dapat dialihkan dengan serta merta.

Seorang pekerja kimia dan pekerja mekanik logam terlibat dalam pekerjaan yang sama sekali berbeda dari sudut pandang fisik, tetapi pekerja mekanik logam dapat memperoleh pengetahuan operasional untuk melakukan pekerjaan kimia dalam beberapa hari, begitu pula sebaliknya. Semakin banyak kerja industri yang disederhanakan, semakin ia dapat dipertukarkan. Ketika berada di depan komputer dan terhubung ke mesin elaborasi dan komunikasi yang sama, manusia melakukan gerakan fisik yang serupa, tetapi semakin sederhana kerja mereka dari sudut pandang fisik, semakin tak dapat dipertukarkan pula pengetahuan, kapasitas, dan pelayanan mereka.

Kerja yang terdigitalisasi memanipulasi tanda-tanda yang benar-benar abstrak, tetapi fungsi rekombinannya lebih spesifik, lebih personal, dan sebab itu semakin jarang pula dipertukarkan. Sebagai konsekuensinya, pekerja berteknologi tinggi cenderung menganggap pekerjaan mereka sebagai bagian paling penting, paling singularis, dan paling personal dalam hidup mereka — kebalikan dari situasi pekerja industri, di mana delapan jam dari jasa berupahnya adalah semacam kematian sementara; di mana seseorang hanya akan bangkit dari kuburnya ketika sirine berhenti bekerja berbunyi.

Kegigihan dan Hasrat

Hanya jika kita mempertimbangkan hal ini, kita dapat menjelaskan mengapa, selama dua dekade terakhir, ketidakpuasan dan ketidakhadiran telah menjadi fenomena yang sepenuhnya marjinal, padahal mereka itu endemik pada akhir periode industri. Studi yang dilakukan oleh Juliet Schorr (The Overworked American) menunjukkan bahwa pada 1980-an (dan bahkan lebih pada 1990-an) rata-rata waktu kerja meningkat pesat. Rata-rata, setiap pekerja AS mendedikasikan 148 jam lebih banyak untuk bekerja pada tahun 1996 ketimbang para koleganya pada tahun 1973. Persentase orang yang bekerja lebih dari 49 jam per pekan meningkat dari 13 persen pada tahun 1976 menjadi hampir 19 persen pada tahun 1998 menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Sedangkan untuk manajer, persentasenya naik dari 40 menjadi 45 persen.

Bagaimana konversi pekerja, dari ketidakpuasan menjadi kepatuhan, tersebut dapat dijelaskan? Tentu saja hal itu dapat dijelaskan oleh kekalahan politik yang diderita kelas pekerja setelah akhir tahun tujuh puluhan — konsekuensi dari restrukturasi teknologi, yang berakibat pada banyaknya pengangguran dan penindasan yang kejam terhadap garda depan kelas pekerja. Namun ini saja tidak cukup. Untuk sepenuhnya memahami perubahan psikososial dari sikap orang-orang terhadap pekerjaan, kita perlu mempertimbangkan mutasi budaya yang berkaitan dengan perpindahan pusat gravitasi sosial dari ranah kerja industri menuju ranah kerja kognitif.

Tak seperti pekerja industri, pekerja kognitif menganggap pekerjaan sebagai bagian terpenting dalam hidupnya, tak lagi menentang perpanjangan hari ataupun jam kerja, dan memang cenderung memperpanjang waktu kerja atas keamuannya sendiri. Dan ini terjadi karena berbagai alasan: di atas segalanya, selama beberapa dekade terakhir komunitas sosial perkotaan menjadi semakin tidak menarik dan telah tereduksi menjadi sekadar bungkusan tanpa kemanusiaan atau bahkan kesenangan. Seksualitas dan keramahtamahan telah semakin ditransformasikan menjadi mekanisme reguler yang terstandardisasi, dan kesenggangan tubuh yang singular kian terganti oleh kebutuhan atas identitas yang diliputi oleh kegelisahan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Mike Davies dalam buku-buku semacam City of Quartz dan Ecology of Fear, kualitas eksistensi telah memburuk dari sudut pandang afektif dan psikis sebagai konsekuensi dari kelangkaan ikatan komunitas beserta sterilisasi yang digerakkan oleh sekuritas mereka.

Tampaknya, dalam relasi manusia, dalam kesehariannya, dalam komunikasi afektif, seseorang mendapatkan semakin sedikit kesenangan dan semakin sedikit kepastian. Konsekuensi dari dis-erotisasi keseharian ini ialah investasi hasrat dalam pekerjaan, yang dipahami sebagai satu-satunya ruang penegasan narsistik bagi sebuah individualitas yang digunakan untuk melihat yang lainnya berdasar pada aturan persaingan, yang mana, sebagai suatu bahaya, suatu pemiskinan, suatu keterbatasan, dan bukan sebagai sumber pengalaman, kesenangan, dan kekayaan.

Efek yang telah menguasai keseharian selama beberapa dekade terakhir adalah efek dari de-solidaritas umum. Pentingnya kompetisi telah menjadi dominan dalam kerja, komunikasi, dan budaya, melalui transformasi sistematis yang menjadikan orang-orang lainnya sebagai pesaing dan demikian menjadi musuh pula. Prinsip perang telah menjadi posisi penting dalam kehidupan sosial, dalam setiap hal di kehidupan sehari-hari, dan dalam setiap aspek hubungan. Apa yang juga menentukan adalah memburuknya kondisi perlindungan sosial secara drastis yang dipicu oleh deregulasi selama dua puluh tahun dan pembongkaran struktur bantuan publik.

Semakin banyak waktu yang kita persembahkan untuk memperoleh alat konsumsi, semakin sedikit waktu yang tersiksa bagi kita untuk menikmati dunia aktual yang sebenarnya. Kian banyak kita menginvestasikan energi syaraf kita untuk memperoleh asa untuk memiliki, kian sulit kita dapat menginvestasikannya untuk kesenangan. Di kitaran masalah ini — yang sepenuhnya diabaikan oleh diskursus ekonomi — pertanyaan tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dimainkan dalam masyarakat hiperkapitalis. Untuk memiliki lebih banyak kekuatan ekonomi (lebih banyak uang, lebih banyak kredit), kita perlu mendedikasikan lebih banyak waktu untuk pekerjaan yang diratifikasi secara sosial. Namun ini berarti kita harus mengurangi waktu untuk kesenangan dan pengalaman baru; singkatnya, kita harus mereduksi hidup.

Kekayaan, yang didefinisikan sebagai kenikmatan, direduksi secara proporsional menjadi peningkatan kekayaan sebagai akumulasi ekonomi, karena alasan sederhana bahwa waktu mental didedikasikan untuk mengakumulasi ketimbang untuk menikmati. Sebaliknya kekayaan, yang dipahami sebagai akumulasi ekonomi, meningkat ketika kenikmatan atas segala hal yang tersebar mulai tereduksi. Dan dua kemungkinan bersekongkol untuk menghasilkan dampak yang sama: ekspansi ranah ekonomi bertautan dengan reduksi ranah erotis. Ketika benda-benda, tubuh, dan tanda-tanda masuk dan menjadi bagian dari model semiotika ekonomi, pengalaman atas kekayaan hanya dapat diaktualisasikan dengan cara yang termediasi, reflektif, dan tertanggungkan. Kekayaan tidak lagi terdiri dari kenikmatan atas waktu dari benda-benda, tubuh, dan tanda-tanda, tetapi produksi ekspansif dan cepat dari kekurangan atas hal-hal itu, yang berubah menjadi nilai tukar, dan bertransformasi menjadi kecemasan. Pada titik ini menjadi dimungkinkan untuk memahami mengapa kerja telah memperoleh posisi sentral dalam efektivitas sosial: serangan liberal telah begitu menghancurkan sosialitas sehingga pekerja diwajibkan untuk menerima suap primordial — bekerja kapan saja dan sebanyak yang diinginkan bos atau tenggelam dalam kemiskinan. Terlebih lagi, pemiskinan dimensi sosial dan dis-erotisasi pengalaman telah membuat kehidupan sehari-hari begitu menyedihkan sehingga pekerjaan akhirnya tampak sebagai satu-satunya kondisi yang dapat ditoleransi. Kita berdamai dengan pekerjaan karena kelangsungan kehidupan ekonomi kita yang kian sulit dan kehidupan metropolitan yang begitu suram sehingga kita mungkin juga harus menukarnya dengan uang.

Kompetisi dan Sindrom Kepanikan Depresif

Dalam bukunya yang berjudul La fatigue d’être soi [Lelahnya Menjadi Diri Sendiri], Alain Ehrenberg menggambarkan depresi sebagai patologi dengan konten sosial yang kuat, terutama yang terkait dengan situasi yang dicirikan oleh persaingan.

Depresi mulai mempertegas dirinya ketika model disipiliner dari perilaku pengaturan, aturan otoritas, dan penghormatan atas hal tabu yang memberi tujuan pada kelas sosial dan seks, memberi jalan kepada norma-norma yang mendorong orang-orang untuk melakukan inisiatif individu, mendorong mereka untuk menjadi dirinya sendiri. Oleh sebab norma baru ini, seluruh tanggung jawab atas kehidupan kita terletak dalam diri kita masing-masing. Depresi, dengan demikian, menampilkan dirinya sebagai penyakit dari tanggung jawab di mana perasaan tak cukup mendominasi. Orang depresi tidak sampai pada batasan tertentu, ia lelah karena harus menjadi dirinya sendiri [4]. Depresi terkait erat dengan ideologi dari pemenuhan-kebutuhan-diri dan kewajiban untuk berbahagia. Dan depresi juga merupakan cara mengidentifikasi, dalam bahasa psikopatologi, jenis perilaku yang tak dapat diidentifikasi dengan jelas sebagai patologi di luar konteks kompetitif, produktif, dan individualistis. Menurut Ehrenberg:

Depresi masuk ke dalam masalah di mana apa yang mendominasi bukanlah rasa sakit emosional seperti penghambatan, pelambanan, dan asthenia: gairah sedih kuno yang ditransformasikan menjadi penghalang untuk bertindak dalam konteks di mana inisiatif individu menjadi tolok ukur orang tersebut[5]. Persaingan melibatkan stimulasi narsistik berisiko tinggi karena secara alami, dalam situasi kompetitif (seperti ekonomi kapitalis pada umumnya, tetapi dengan cara tertentu, seperti ekonomi baru), para pesaing ada banyak dan yang dipilih hanya sedikit, sedangkan norma sosial tak mengakui kemungkinan akan kegagalan karena hal ini diidentifikasi sebagai kategori psikopatologis. Tak ada persaingan tanpa kekalahan, tanpa kegagalan, tetapi norma sosial tak dapat mengenali normalitas kegagalan tanpa meragukan fondasi ideologisnya, tanpa meragukan efisiensi ekonominya.

Penggunaan zat-zat psikostimulan atau anti-depresi secara alami adalah wajah lain dari ekonomi baru. Berapa banyak pekerja di ekonomi baru yang bertahan tanpa Prozac, tanpa Zoloft, atau tanpa kokain? Pembiasaan terhadap zat psikotropika, yang dapat dibeli di apotek dan yang dapat dibeli di pasar gelap, adalah elemen struktural ekonomi psikopatogenik. Ketika keharusan psikologis mendasar dari interaksi sosial ialah persaingan ekonomi, kondisi-kondisi depresi massal sedang diciptakan. Ini secara efektif ialah apa yang terjadi di hadapan kita.

Psikolog sosial mengamati bahwa kepanikan dan depresi telah menjadi begitu endemik selama beberapa dekade terakhir. Kepanikan adalah suatu sindrom yang tidak terlalu diketahui oleh para psikolog karena, tampaknya, di masa lalu krisis semacam ini jarang terjadi. Sindrom panik baru-baru ini didiagnosis sebagai fenomena yang spesifik dan sangat sulit untuk diidentifikasi penyebab fisik dan psikisnya. Bahkan, dengan kesulitan yang lebih besar, terapi yang memadai untuk sindrom ini masih diidentifikasi. Saya tidak mengklaim untuk memberikan penjelasan, apalagi solusi, untuk masalah patologis yang diwakili oleh sindrom ini. Saya membatasi diri pada beberapa refleksi tentang apa yang ditandai dengan kepanikan. Kepanikan adalah perasaan yang kita alami ketika, dihadapkan dengan ketidakterbatasan alam, lalu kita merasa kewalahan, tak mampu menerimanya ke dalam kesadaran kita, serangkaian rangsangan tak terbatas yang dibangkitkan di dalam diri kita oleh dunia. Etimologinya berasal dari kata yang Yunani yang menandakan “segala sesuatu yang ada” (pan), dan keilahian yang hadir dengan nama ini membuat ia terasa sebagai pembawa keedanan yang agung, seperti yang ditulis James Hilman dalam “Essay on Pan”[6]. Namun dalam konteks sosial masyarakat yang kompetitif, di mana semua energi dimobilisasi menuju posisi supremasi, dan dalam konteks teknologi dari akselerasi konstan atas ritme mesin global, kepanikan menjadi efek sosial dari ekspenasi konstan dunia maya yang berhubungan dengan kapasitas terbatas dari kinerja otak individu dan berhubungan dengan cybertime.

Keluasan tak terbatas yang melampaui kapasitas kinerja organisme manusia sebagaimana sifat luhur yang melampaui kapasitas manusia yunani terhadap perasaan ketika dewa Pan muncul di Cakrawala. Kecepatan ekspansi ruang maya yang tak terbatas, kecepatan paparan sinyal tak terbatas yang dirasakan organisme sebagai hal vital untuk bertahan hidup, menjadikannya tekanan perseptif, kognitif, dan psikis yang berujung pada akselerasi berbahaya atas semua fungsi vital, pernapasan, serta detak jantung, hingga ke titik kolaps.

Jadi, apa yang dipertaruhkan di sini bukanlah psikopatologi individu, tetapi manifestasi individual dari psikopatologi sosial yang luas.

Catatan

[1] Pierre Lévy, Cyberculture, trans. Robert Bononno, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2001.

[2] Juliet Schor, The Overworked American: The Unexpected Decline of Leisure, Basic Books, New York, 1991.

[3] Mike Davies, City of Quartz: Excavating the Future in Los Angeles, Verso, London, 1990; Ecology of Fear: Los Angeles and the Imagination of Disaster, Metropolitan Books, New York, 1998.

[4] Alain Ehrenberg, La fatigue d’être soi, Odile Jacob, Paris, 1998, p. 10.

[5] Ehrenberg, p. 18

[6] James Hillman, ‘An Essay on Pan: Serving as a Psychological Introduction to Roscher’s Ephialtes’, in Wilhelm Roscher, Pan and the Nightmare, Spring Publications, New York, 1972.

--

--

No responses yet