Bars Of Death — Morbid Funk

Atolah Renanda Yafi
5 min readJun 3, 2020

--

Bars of Death beserta Morbid Funk adalah kuasikebangkitan Homicide yang alih-alih menghidupkan kembali hal yang telah lama mati, justru menciptakan kuburan segar yang tak pernah utuh. Jelas, kita tahu bahwa ia adalah proyek yang berhenti di tengah jalan, sedangkan Morbid Funk sendiri adalah karya-karya sisa yang dikumpulkan lagi agar tak sia-sia. Menyebut Morbid Funk sebagai album, atau bahkan album yang utuh dengan konsep yang matang adalah hal yang begitu berat, bila tak boleh dibilang mustahil.

Toh, di sisi lain, menyebut BoD sebagai sekadar reunian dari Homicide tampaknya juga bukan hal yang sepenuhnya pantas. Memang, personil bisa dibilang serupa dengan Homicide, tetapi perlu ada beberapa aspek yang diperhatikan dengan seksama tentang karya-karyanya. Mulai dari cover album hingga produksi musik, banyak hal yang jelas berbeda dengan Homicide. Jelas-jelas dari awal album kita disuguhkan dengan cover cerah dengan dominasi ungu dan biru, jauh dengan album-album Homicide yang kadang hanya menggunakan foto terkesan usang atau desain-desain dengan corak merah kehitaman. Ada baiknya kita melupakan semua hal tentang Homicide sebelum mendengarkan album ini secara utuh. Setidaknya agar hasrat untuk bernostalgia dan membanding-bandingkan tidak mengganggu kita untuk menikmati karya ini.

Bars of Death jelas menawarkan musik yang beragam, cerah, dan cukup eksperimental yang dibalut dengan rap marah-marah penuh kritik sosial serta referensi atas berbagai hal di dunia ala Morgue Vanguard dan Sarkasz. Setidaknya track pertama, “Boombap Kanuragan”, berhasil merangkum semua itu secara padat selama dua menit. Awal yang cukup bagus untuk memberi pendengar sebuah impresi pertama yang menyeluruh atas keseluruhan album ini.

Track-track selanjutnya di Morbid Funk tak bisa dibilang sebagai hal yang mengejutkan bagi para pendengar Bars of Death atau mereka yang telah mengikuti sepak terjang hip-hop tanah air, bukankah kebanyakan karya di sini memang telah dirilis sebelumnya? Ia hanya dikumpulkan lagi menjadi satu agar terkesan sebagai album yang utuh. Sama halnya dengan membaca buku-buku tak bertema yang sebenarnya hanyalah esai-esai yang dikumpulkan sekadar untuk mencapai satu pencapaian utuh yang semu.

“Radio Raheem”, misalnya, adalah track yang sudah dikenal lama sebelumnya. Sampling, Mixing, dan Mastering lagu ini memang tak bisa ditampik lagi kematangannya. Semua tercampur dengan baik. Namun, apa yang kalian dengarkan dari Morgue Vanguard maupun Sarkasz tak bisa dibilang sebagai hal yang baru dengan multisylabel penuh amarah serta kritik sosial. Apa yang menarik di “Radio Raheem” justru terletak pada transisi musik di bagian akhirnya. Sayang sekali versi remix track ini di akhir album tak terlalu memuaskan, ia hanya bentuk lain dengan beat yang lebih mudah untuk dinikmati dan lebih banyak scratch.

Hal yang segar dan tampaknya akan tetap relevan justru terdapat pada track “A.C.A.G.” (All Cops Are Gods). Kira-kira sejak 2018 kejadian penangkapan para anarko oleh para polisi adalah hal yang cukup hangat untuk dibicarakan, apa lagi sejak kejadian April 2020 lalu. Parodi polisi di awal track ini jelas menjadi hal yang begitu ikonik dan kontekstual selama anarko terus-terusan menjadi bahan incaran para aparat. Berbeda dengan kebanyakan liriknya yang berbau protes dari pihak tertindas. Kali ini “A.C.A.G.” ditulis dengan sudut pandang kesombongan aparat akan kuasanya. Arogansi aparat dengan latar swing di bagian belakang justru menjadi ramuan menarik bagi track ini, seakan menonton adegan dua polisi tiba dengan scoring film yang menegangkan.

Tamu-tamu yang tiba dalam Morbid Funk juga tak terasa sia-sia. “Buckshot Riddim” dengan Blakumuh adalah braggadocio sekaligus kritik sosial yang sempurna. “Kami graffiti Banksy // kalian Instagram Awkarin” setidaknya telah menjelaskan semuanya. “Pecahan Tengkorak” di sisi lain lebih menarik dengan kesan mendengar hip-hop di tengah ritus-ritus kematian. Dengan lirik tentang berbagai kekejaman yang terjadi di dunia, track ini berhasil membawa kengerian dalam flow lambat dan musik yang terdengar lebih mistik.

“Tak Ada Garuda Di Dadaku” adalah bentuk lain yang lebih luas ketimbang “A.C.A.G.”. Dibuka dengan kesan suatu upacara kenegeraan, seluruh lagu ini berbicara tentang kritik atas peran negara itu sendiri. “Persatuan Indonesia yang hanya terjadi di stadion sepakbola” jelas mengutarakan semua itu dengan lugas. Latar musik yang terkesan sebagai lagu patriotik dalam track ini jelas membuat kontradiksi dengan kontennya sendiri yang merupakan ironi dari berbagai jargon kebangsaan yang semu belaka.

Track singkat “Morbid Funk” sendiri hanya terkesan sebagai filler dalam album ini. Ia hanya berisi bait pendek dari MV yang dilanjutkan dengan masturbasi scratching. Tak ada yang spesial. Mungkin hanya mengisi ruang kosong.

“Bait Kematian” yang menjadi single dari Morbid Funk bakal kerap disebut sebagai bentuk lain dari “Barisan Nisan” dengan flow lebih cepat dan musik yang serupa dengan “Pecahan Tengkorak”. Coba putar dua track ini secara berurutan, maka tak ada yang terlalu berbeda selain konten dan MC-nya.

Bars of Death memang berhasil membawa hip-hop yang berbeda dengan apa yang telah dibawa oleh Homicide. Ia bereksperimen dengan musik yang lebih beragam dan teknik yang lebih menarik di tengah rap marah-marah yang tetap seperti Homicide. Setidaknya usaha mereka bertiga untuk menawarkan satu kebaruan telah berhasil.

Apa yang menjadi kekecewaan besar justru terletak pada Morbid Funk sebagai album itu sendiri. Dengan durasi sependek sepuluh track, di mana satu berupa remix, dan dua berupa intro serta permainan DJ, album ini gagal mencapai klimaks. Apa yang bisa didengarkan darinya hanyalah kumpulan track acak yang tak memiliki flow. Beberapa terasa begitu sama tetapi tak memberi ciri khas yang kental dalam satu album. Andaikan ia merupakan mie instan, Morbid Funk merupakan mie yang terpaksa mentas dan dimakan sebelum ia dimasak secara matang, bahkan dengan bumbu yang tak lengkap.

Sedang bagi penggembar Homicide, Mendengar Bars of Death bisa dibilang sama dengan melakukan ziarah kubur. Mereka mendatangi rima-rima yang telah mati sambil berharap masa lalu yang kerap dibesar-besarkan oleh romantisme itu bangkit kembali. Namun sayang tak begitu yang terjadi. Bars of Death kadung bubar sebelum proyeknya sempat kelar. Lagu-lagu di Morbid Funk hanyalah kumpulan karya berserakan yang dipaksa menjadi satu. Ia tak lebih dari proyek kebangkitan gagal yang dipaksa menjadi kuil. Tak ada yang spesial, kecuali jika kalian begitu tergila-gila akan Homicide dan kumpulan mitosnya. Sebagai grup baru dengan musik yang lebih segar tanpa menghilangkan ciri khas awalnya, mereka berhasil. Namun sebagai suatu album yang layaknya memberi konsep, flow, serta kepuasan yang utuh sepanjang durasinya, ia terang-terang merupakan kegagalan yang dipaksa rilis.

Ada baiknya, setelah kekecewaan dan kebosanan memuncak, kita segera move on kepada para punggawa hip-hop baru yang menawarkan lebih banyak inovasi serta kesegaran. Homicide telah mati, dan Bars of Death tak lebih dari kuburan yang gagal dibangun hingga selesai. Segera sudahi ziarah tanpa makna ini. Nostalgia bukan lagi sebuah jawaban.

--

--