Demonstrasi sebagai Tontonan: Citra Perlawanan #ReformasiDikorupsi, Resistansi atau Rekuperasi?

Atolah Renanda Yafi
20 min readDec 4, 2019

--

https://statik.tempo.co/data/2019/09/23/id_874807/874807_720.jpg

PENGANTAR

Demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang terjadi pada selang 23 September hingga 30 September 2019 kemarin bisa dibilang sebagai salah satu demo terbesar yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Hal ini juga merupakan hal yang unik sebab, pasalnya, ia digerakkan oleh motif yang berbeda-beda. Katakanlah, ada berbagai isu yang membelakangi diciptakannya rangkaian demo selama beberapa hari tersebut mulai dari militerisasi Papua, kriminalisasi aktivis, pelemahan KPK, hingga berbagai revisi KUHP yang dianggap kontroversial oleh para pendemo. Lantas, bisa jadi, hal ini yang mengakibatkan demo ini menjadi besar. Manusia, utamanya mahasiswa, dari berbagai latar belakang ikut andil menyemarakkan demo ini. Jalanan maupun jagad media sosial pun ikut dibuat ramai olehnya. Tak bisa ditolak, selama satu pekan lebih orang-orang ramai membicarakan demo ini. Gerakan resistensi yang, bisa dianggap, bertujuan menyampaikan aspirasi “publik” ini menjadi seremoni sekaligus tontonan bagi banyak orang. Mahasiswa di berbagai kota berbondong-bondong melakukan demo di mana-mana meski isu dan pesan yang mereka bawa begitu beragam dan tak tersentral.

Fenomena ini kiranya semakin menarik, sebab orang-orang semakin mempetunjukkan bahwa demo yang melawan pendapat pemerintah yang sedang berkuasa adalah suatu selebrasi sekaligus seremoni. Tak ada ketakutan yang dipampangkan di jagad dunia digital maupun dunia nyata. Anonimitas dari pembawa pesan tidak diperlihatkan dan makin banyak orang yang ingin unjuk diri dengan segala kreativitas pesannya di dunia maya maupun nyata. Orang berebut membuat poster paling menarik untuk difoto dan berlomba-lomba membuat pesan ataupun gambaran paling menarik perhatian. Perlawanan terhadap aparatus negara dalam #ReformasiDikorupsi menjadi suatu perlawanan yang juga menjadi hiburan.

Tak ada lagi penampakan ketakutan ketika orang menunjukkan pendapatnya yang melawan, justru semua orang berlomba menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari demo ini. Tak jarang pun ditemukan pendapat para dosen yang mendukung mahasiswanya untuk turun ke jalan. Hal ini dibuktikan kuat oleh tangkapan layar yang berjejal di lini masa media sosial. Semua ingin mempangkan perlawanannya, semua tak ingin melawan sambil bersembunyi untuk mengamankan diri.

Demonstrasi dengan gaya seperti ini jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada generas-generasi sebelumnya. Demo #ReformasiDikorupsi lantas menjadi obrolan berabagai media massa maupun khalayak karena gayanya yang jauh berbeda dengan demonstrasi-demonstrasi yang ada sebelumnya. Isu yang dibawa begitu luas serta membawa tujuan yang begitu banyak. Orang justru berebut perhatian di dalamnya. Dan pula, banyak figur selebritas yang ikut andil di dunia nyata maupun maya yang semakin memperiuh demonstrasi kali ini. Pesan-pesan yang mereka bawa pun, di sisi lain, begitu banyak dan terkadang diselingi oleh candaan, tak homogen seperti yang biasa dibawa oleh suatu demonstrasi. Perayaan seperti ini oleh media massa semakin dibesarkan sebagai sebuah perlawanan ala Generasi Z (Tirto, 2019). Alih-alih memberi narasi buruk tentang perlawanan mahasiswa, kali ini media massa justru berebut untuk memberi suara positif yang mendukung gerakan gaya baru ini.

Fenomena lain yang tak kalah barunya dalam demonstrasi kali ini adalah pertarungan wacana yang terjadi dalam ranah dunia maya. Demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang tak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga maya, seakan menampilkan satu pertunjukan baru. Kehadiran manusia dalam demonstrasi kali ini ditunjukkan dengan keaktifannya di dunia maya menyoal isu atau pendapat terkait demonstrasi tersebut. Wacana kontra pun juga terjadi dalam unjuk pendapat dunia maya ini hingga menimbulkan keramaian baru yang pelakunya satu sama lain saling berebut atensi.

Naasnya, perlawanan ini akhirnya diikuti oleh jawaban mengambang dari pemerintah. Konsistensi pesan yang dibawa oleh keriuhan pendemo perlahan surut dan menjadi fenomena yang hanya lewat saja. Hal ini membuat sulit untuk menyebut demonstrasi kali ini sebagai satu gerakan yang besar, mengingat efeknya yang tak tampak. Meski begitu imbas lain yang menarik adalah pola-pola perubahan gaya demonstrasi yang terjadi pada gerakan ini. Pun, meskipun ia sebagai sebuah resistensi belum bisa dianggap berpengaruh (entah secara vertikal ataupun horizontal), posisinya di dalam tananan kapitalisme informasi menjadi menarik untuk dipertanyakan.

Tulisan ini ingin melihat serta mempertanyakan posisi demonstrasi #ReformasiDemokrasi dalam tatanan ekonomi atensi melalui kacamata Guy Debord. Debord berpendapat bahwa relasi masyarakat masa kini telah diserap oleh kapitalisme dalam wujud tontonan. Segala relasi yang ditampakkan oleh masyarakat tak lebih dari tontonan, dan konsumsi yang dilakukan oleh orang-orang tak lebih dari konsumsi pampangan. Alih-alih teralienasi oleh produksi, masyarakat justru teralienasi oleh konsumsinya (alienated cosumption). Pandangan ini akan digunakan untuk membaca apakah perlawanan kali ini, dengan segala kreativitas dan keriuhannya, adalah suatu detournement atau bentuk dari recuperation dengan segala temporalitasnya.

Selain itu saya akan menempatkan demo ini dengan relasinya terhadap ekonomi atensi. Dalam artian bahwa di masa yang penuh akan informasi ini, justru atensi menjadi barang langka yang diperebutkan(Simon, 71). Dalam masa ketika informasi menjadi kapital, atensi adalah hal yang paling diidam-idamkan. Memberi atensi tak lain adalah mengonsumsi suatu informasi. Maka, dengan keriuhan informasinya (yang entah merupakan bentuk rekuperasi atau deteurnment) tujuan utama artikel ini ialah melihat apakah resistensi yang ditujukkan oleh #ReformasiDikorupsi merupakan perlawanan atau sekadar bentukan lain dari afirmasi terhadap kapitalisme yang terselubung serta tak pernah disadari oleh kaum muda.

Dengan mengkaji bagaimana Debord melihat relasi masyarakat sebagai sekadar tontonan, peran ekonomi atensi dalam membentuk interaksi masyarakat beserta produsen informasi di masa kini, dan mempelajari gerak-gerik demo #ReformasiDemokrasi beserta peran media massa maupun tokoh-tokoh dunia maya, tulisan ini akan membaca apakah gerakan ini merupakan bagian dari pembentukan citra serta perburuan atensi dalam relasi masyarakat berupa tontonan atau tidak.

Hal ini penting kiranya untuk melihat ulang apakah suatu gerakan skala besar yang mengusung semangat perlawanan dapat disebut sebagai resistensi atau sekadar bagian dari komodifikasi.

PEMBAHASAN

Menyoal Demonstrasi Masa Kini dan Masa Lalu

Apa yang membuat berbeda demonstrasi masa kini dan masa lalu yang terus-terusan dibicarakan orang-orang di dunia maya adalah gayanya yang begitu berubah. Sejak tahun 60-an hingga demo ’98, demonstrasi di Indonesia adalah bentuk satu kesatuan massa dengan opini yang seragam dan homogen. Kita bisa melihat jelasnya tuntutan dari dokumentasi sekilas yang ada pada demonstrasi tersebut. Demonstrasi di masa lampau adalah masa di mana orang-orang seakan dijadikan satu suara dan memiliki kekuatan besar lewat jumlah massa yang terlihat banyak. Hal ini jelas berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada demonstrasi #ReformasiDikorupsi.

Pun, demonstrasi masa lalu ialah demonstrasi yang dilakukan secara anonim. Di mana orang-orang cenderung takut untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang aktivis yang kritis terhadap negara. Bila tidak, ia harus siap menjadi sasaran intelegen negara, atau bahkan paling buruk harus diitangkap, diinterogasi, disiksa, hingga ditahan atau bisa saja dihilangkan. Hal ini menjadi ketakutan besar terutama bagi para demonstran di masa orde baru. Demo menjadi hal yang begitu tabu, apa lagi bagi orang tua yang menguliahkan anak-anak mereka. Konformitas masyarakat pada masa itu membuat pandangan mereka terhadap aktivis menjadi begitu buruk. Menjadi demonstran sama saja dengan mencari mati tanpa pernah tahu apakah hasilnya akan menjadi nyata atau tidak.

Pasca Reformasi ’98 di mana para aktivis membesar-besarkan hasil perjuangannya selama bertahun-tahun, kegiatan demonstrasi masih menjadi hal yang buruk di mata khalayak. Meski Indonesia pasca reformasi dianggap sebagai negara yang lebih demokratis dan dapat menerima perbedaan pendapat, kegiatan demonstrasi masih menjadi sesuatu yang sangat mengerikan. Pandangan sesama mahasiswa terhadap para pendemo pun acap kali begitu buruk. Kegiatan demo dianggap sebagai hal yang mengerikan serta tiada guna. Tak luput, bahwa demonstrasi-demonstrasi yang berakibat kerusuhan makin memperkeruh hal ini. Memperoleh julukan sebagai aktivis pun seakan merupakan sematan yang buruk bagi citra seseorang karena akan dianggap membahayakan.

Semua ini mulai berubah di tahun 2010’an. Dengan bantuan media sosial sebagai sebuah public sphere baru, propaganda dan ajakan demonstrasi mendapat tempat barunya. Tak hanya itu saja, orang-orang juga memanfaatkannya sebagai ajang mencari eksistensi. Perlahan demonstrasi menjadi satu bentuk kegiatan untuk mencari justifikasi atas kekritisan seseorang di kelompoknya. Tak jarang seseorang mengunggah bukti bahwa ia ikut berpartisipasi dalam demonstrasi demi eksistensinya. Citra diri dalam demonstrasi yang awalnya disembunyi-sembunyikan perlahan menjadi hal yang diburu-buru oleh khalayak. Demonstrasi berubah bukan sebagai ranah resistensi tapi juga wahana untuk menjaga eksistensi di jagad dunia maya. Meski penyebaran informasi semakin mudah berkat adanya media sosial, ada imbas lain berupa meluasnya fungsi demonstrasi. Pun, hal ini makin terlihat berbeda begitu orang yang tidak ingin ikut demonstrasi justru dicemooh. Ajakan untuk mengikuti demonstrasi perlahan menjadi banal. Bahkan orang sudah berani mengumumkannya secara terang-terangan di lini masa media sosial. Anonimitas yang pada awal keberadaan web 2.0 begitu dijaga oleh kaum aktivis perlahan mulai luntur. Orang sudah berani menuturkan bahwa dirinya adalah insan yang mendalangi demonstrasi. Lebih mengejutkan dari itu semua, bahkan aksi anak-anak SMK yang menantang aparat dalam demonstrasi didokumentasi pula dan disebarkan lewat media sosial. Perlahan, demonstrasi menjadi satu hal yang banal dan tidak perlu ditakutkan. Orang-orang begitu riuh dan gembira menyambut pesta penyampaian pendapat yang satu ini.

Pendapat yang disampaikan dalam #ReformasiDikorupsi pun begitu berbeda dengan yang terjadi pada demonstrasi sebelumnya. Kali ini, demo tidak menjadi sesuatu yang terpusat. Opini yang dimunculkan bukanlah opini yang tunggal dan disetujui oleh semua orang. Spanduk besar masih bertebaran di mana-mana, tetapi poster kecil-kecil juga muncul dalam demonstrasi kali ini. Setiap orang muncul dengan pendapatnya masing-masing dan menjadikan demo ini sebagai suatu demonstrasi dengan pendapat yang menyebar dan berbeda-beda satu sama lain. Maka sulit untuk mengerti kemauan publik secara monolitik serta homogen dalam demonstrasi kali ini. Alih-alih menganggapnya ditunggangi, mereka secara individu terlalu berbeda satu sama lain.

Namun, masih sama dengan paragraf sebelumnya, poster-poster dalam demonstrasi kali ini hanya berfungsi sebagai objek pamer yang ingin difoto dan disebarkan via media sosial masing-masing. Orang beramai-ramai membahas poster yang ada di demonstrasi #ReformasiDikorupsi sebagai suatu hiburan yang layak dikonsumsi dengna cara memberi atensi. Perihal perlawanan yang dicanangkan oleh aksi ini pun menjadi hal yang begitu rancu. Mereka menjadi janggal jika aksi ini disebut sebagai perlawanan cum resistensi, apabila di sisi lain ia adalah wahana pencarian eksistensi bagi kaum muda pengguna media sosial.

Terlepas dari caranya yang baru dan bisa dianggap kreatif, terlalu buru-buru rasanya bila menganggap apa yang dilakukan oleh demonstrasi ini adalah detournment ala demo Paris ’68, mengingat penghancuran simbol dan kreativitas yang dilakukan di sini tak lebih dari pencarian keunikan demi atensi massa di dunia maya. Mungkin lebih baik untuk membacanya sebagai rekuperasi atau kooptasi dari ekonomi atensi. Namun sebelum itu, ada baiknya untuk membahas bagaimana Debord memandang relasi antara tontonan dan juga masyarakat itu sendiri beserta pandangannya atas cara kerja kapitalisme itu sendiri secara singkat.

Guy Debord dan Tontonan sebagai Relasi Masyarakat

Salah satu pandangan paling terkenal dari Debord ialah bahwa ia menyatakan tontonan (spectacle) adalah relasi dari masyarakat di era kapitalisme konsumsi (Debord, 2004 [1967]: 4). Semua realita kita telah termaterialisasi dalam tontonan dan akhirnya konsumsi telah menjadi kegiatan yang mengejawantah dalam keseharian. Masyarakat tak lagi bisa keluar dari penindasan karena setelah selesai dari kerja produksi mereka akan menuju kerja lainnya: yaitu kerja konsumsi. Perputaran ini akan terus diulang tanpa henti dan tanpa disadari. Konsumsi akan tanda serta tontonan telah menjadi ritus keseharian kita.

Perkara yang menjadi lebih gila ialah bahwa konsumsi yang ada sekarang bukanlah soal konsumsi nilai guna, melainkan konsumsi nilai tanda. Masyarakat mengonsumsi sesuatu karena citra yang dipancarkannya. Kelimpahan akan komoditas membuat orang-orang justru makin tertindas — dan di sisi lain abai serta senang terhadap — kegiatan konsumsi.

Apa yang dilakukan masyarakat, melalui konsumsi, bukanlah perkara memiliki, tetapi perkara tampak seperti apa ia dengan mengonsumsi suatu komoditas (Debord, 2004 [1967]:11). Kegiatan membeli tak lagi perkara apa yang akan dimiliki atau kegunaan seperti apa yang didapat seseorang setelah mendapatkannya. Semua luruh dalam pencarian citranya. Masyarakat perlahan menjadi suatu tontonan menyeluruh melalui konsumsi yang makin menindasnya ini. Di sisi lain ia menjadi makin runyam karena kegiatan ini begitu diafirmasi oleh masyarakat. Masyarakat seakan sudah terbelenggu sekaligus gembira dengan kondisi di mana konsumsi demi citra ini dianggap sebagai suatu yang wajar. Tak ada kejanggalan yang tampak sebab mereka hanya bisa melarikan diri dari penindasan di ranah produksi melalui penindasan di ranah konsumsi.

Debord sempat menyatakan solusi semacam detournement, atau bisa disebut pembajakan, demi membuat perlawanan simbolik terhadap kondisi ini. Contohnya tertera jelas pada slogan-slogan perlawanan yang terdapat dalam demo Paris ’68. Sayang sekali bahwa akhirnya ia harus menyerah begitu mendapati bahwa hal ini pun tetap dapat diserap oleh kapitalisme, katakanlah, melalui kooptasi. Debord telah sadar akan hal ini ketika ia pula sedang menuliskan tentang rekuperasi, suatu kondisi di mana citra apapun itu bisa dibolak-balikan dan diserap serta dikooptasi oleh media beserta kapitalisme. Ia akhirnya menyerah dan menyatakan bahwa masyarakat tak dapat berkutik dalam diskursus media yang sudah menggila ini, tak ada celah lagi dalam realita yang dikepung habis oleh citra (Debord, 1998 [1988]: 7).

Bisa dibilang pula bahwa dalam kapitalisme yang selalu beradaptasi dengan segala dinamika masyarakat, makin sulit untuk menemukan jalan keluar darinya. Penindasan yang telah mengejawantah dalam berbagai bentuknya pada kegiatan konsumsi maupun produksi semakin susah untuk dihindari ataupun dicari celanya. Masyarakat dibuat senang serta terbuai oleh kondisi yang mereka tawarkan mentah-mentah. Citra menjadi segalanya, sesuatu yang membuat mereka ada dan dapat didifenisikan, padahal di sisi lain juga yang membuat mereka teralienasi melalui kegiatan konsumsinya sendiri.

Menyoal Ekonomi Atensi

Perkara kondisi ekonomi yang kita hadapi sekarang untuk memperjelas posisi penggunaan kacamat Debord, ada baiknya untuk menatap pada apa yang sebenarnya menjadi hal yang langka dalam masyarakat masa kini (mengingat bahwa komoditas telah menjadi hal yang terlampau banyak, dan sebanrnya komoditas apakah yang terlampau banyak ini). Membandingkannya dengan ekonomi-ekonomi lainnya adalah satu hal yang paling mungkin. Pada ekonomi agrikultura, hal yang paling dipererbutkan adalah tanah sehingga mereka yang berkuasa jelas akan mengonsentrasikan kuasanya pada tanah itu sendiri. Hal ini jelas terlihat pada masa feodal di mana kekuasaan seseorang atau suatu kerajaan dapat dilihat dari tanahnya. Sedangkan di masa ekonomi industrial, yang mengjadi langka adalah pekerja dan alat produksi. Orang-orang yang berkuasa di sini bisa dilihat dari kepemilikannya atas alat produksi bersama para pekerja yang akan menjalankannya, maka tak heran bila ada pandangan bahwa yang harus diperjuangkan ialah kemerdekaan para pekerja melalui perebutan alat produksi. Kondisi sekarang ialah masa di mana informasi menjadi hal yang merebak di mana-mana. Orang-orang sudah terlampau banyak menyerap informasi, dalam bentuk apapun, hingga terjadi kelimpahan hingga bahkan penimbunan. Maka untuk menyebutnya sebagai era ekonomi informasi sama saja dengan hanya terfokus pada kegiatan overproduksi yang dijalankan oleh kapitalisme pascaidnustri. Ada hal yang jelas menjadi langka ketika informasi ini begitu banyak hingga sulit untuk diserap satu persatu, atau bahkan dipilah-pilah atau dikurasi sebelum benar-benar dicermati, yaitu: perhatian atau atensi. Maka jelas penting untuk melihat bagaimana ekonomi atensi bekerja dalam era sekarang ini, di mana, entah sadar atau tidak, masyarakat berlomba-lomba mencari citra terbaik untuk menjadi yang paling diperhatikan. Ekonomi atensi menjadi satu hal yang penting sekali diamati dalam masa yang penuh oleh informasi (Simon, 1997: 40–41).

Sadar ataupun tidak, dengan semakin gilanya industri yang memperbanyak citra dalam kegiatan produksi-konsumsi, maka masyarakat makin gila dengan adanya polusi informasi. Di sisi lain, sejak adanya web 2.0 yang memudahkan setiap manusia untuk memproduksi konten apapun di dunia maya maka makin gila pula kelimpahan informasi yang ada di dunia maya maupun nyata. Citra, sekali lagi, yang diusung oleh Debord bisa pula dinyatakan sebagai informasi karena informasi apapun pula yang terpampang di mata kita tak lebih merupakan tontonan yang menyeruak dan perlahan menjadi makin banyak. Ia merepresentasikan keseluruhan dari masyarakat, tetapi juga membuat masyarakat senang sekaligus kebingungan karenanya. Overproduksi komoditas bukan saja perkara barang-barang riil yang ada di pasaran, tetapi juga overproduksi informasi yang membuat kapitalisme harus mencari cara agar masyarakat dapat mengonsumsi informasi-informasi yang telah mereka hasilkan ini. Atensi menjadi begitu langka karena terbatasnya waktu serta kesadaran yang dimiliki oleh manusia.

Penampakan dari perebutan atensi ini paling jelas bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh korporasi di dunia maya. Banyak perusahaan besar, entah itu Twitter, Facebook, Google, dan lain sebagainya yang mencari cara terbaik agar mendapat perhatian dari para penggunanya. Hanya dengan atensi maka orang-orang akan mulai mengonsumsi. Memberi perhatian pada sesuatu bisa jadi merupakan salah satu bentuk konsumsi di era ekonomi atensi. Salah satu kiat paling jelas yang dilakukan korporasi besar ialah melaui attention engineering (rekayasa atensi) untuk mendapat atensi besar-besaran dari calon pengguna. Teknologi serta platform atau medium yang digunakan direkayasa sedemikian rupa agar pengguna tertarik, secara tak sadar, untuk memberi perhatian pada komoditas-komoditas berupa informasi yang mereka tawarkan di segala lini dunia maya. Notifikasi dibuat semenarik mungkin, citra-citra dibuat tak bisa dilewatkan hingga orang mulai menoleh dan memberi perhatian, adiksi lewat teknologi terus diberikan (misal lewat teknologi scroll yang mengejawantah seperti mesin judi nan adiktif) agar orang semakin tertarik untuk memberi atensinya. Perlahan korporat pun bertindak sebagai panoptikon melalui kapitalisme surveilans (surveillance capitalism) untuk mempermudah cara mencari atensi (Zuboff, 2018). Setiap gerak-gerik manusia di dunia maya diperhatikan dan dicata dalam database besar berupa big data untuk kemudian dianalisis hingga ditemukan cara paling mudah dalam mencari atensi mereka. Apapun informasi yang diproduksi maupun dikonsumsi orang-orang perlahan dicatat dan dilihat polanya untuk dijual kepada pihak lain seperti, katakanlah, para pengiklan yang akan menjadi produk konsumsi orang-orang yang telah merasa bebas membuat informasi di dunia maya tersebut. Batas antara produksi dan konsumsi luruh, tetapi batas antara komoditas dan pengguna juga luruh. Kebebasan yang ditawarkan kapitalisme dalam skema seperti ini juga digunakan agar mereka dapat menjual diri kita untuk nantinya diputarbalikkan sebagai penarik atensi pula. Semua citra yang telah kita konsumsi atau produksi akan didaur ulang oleh pihak pengiklan yang nantinya akan memberi kita komoditas (entah berupa informasi atau apa) untuk kita konsumsi lagi nantinya. Skema panoptik seperti ini seakan memberi kita kebebasan untuk melawan, padahal di sisi lain ia adalah cara paling mudah untuk menentukan komoditas apa yang harus diberi pada setiap calon konsumen di tengah makin melimpahnya informasi yang diproduksi oleh produsen manapun. Perlawanan ataupun kepasrahan tak ada bedanya, hingga detournement ala Debord pun bisa direkuperasi dengan mudah dalam skema ekonomi atensi semacam ini.

Imbas lain dari makin banyaknya pihak yang berebut atensi adalah makin banyak pula distraksi yang datang pada setiap orang. Informasi yang terus berjejal dalam waktu bersamaan membuat orang-orang makin kebingungan untuk memperhatikan yang mana, tak ada lagi istilah fokus. Semua orang terlalu bingung untuk memperhatikan informasi mana yang harus diperhatikan karena hasil dari surveilans tadi ialah informasi atau komoditas yang sangat menarik perhatian bagi masyarakat yang juga ingin menjual citra dirinya. Tak ada lagi konsistensi dan sustainabilitas dalam kondisi seperti ini karena informasi yang ada akan terus digantikan dalam waktu begitu cepat. Memperhatikan satu hal dalam waktu yang lama akan menjadi satu kenikmatan dalam kondisi perebutan atensi seperti ini. Temporalitas adalah tantangan terhebat dalam resistensi apa bila kita harus meminjam perkataan Debord sekali lagi (Debord, ). Ekonomi atensi, tak ayal, merupakan salah satu bentuk ketakutan Debord yang justru datang ketika ia telah bunuh diri. Perihal produksi berlebih yang mengakibatkan orang dipaksa, secara sadar atau tak sadar, untuk terus-terusan mengonsumsi tak hanya nilai guna suatu barang, tetapi juga nilai tanda dan citranya, sudah merasuk dalam kondisi di mana informasi menjadi begitu merebak serta melimpah. Adakah perlawanan jika kita harus menyoal posisinya dalam ekonomi atensi yang tampak ramah-ramah saja dalam melakukan rekuperasi?

Perlawanan sebagai Citra dalam #ReformasiDikorupsi

Demonstrasi #ReformasiDikorupsi merupakan hal yang jauh berbeda dengan demonstrasi-demonstrasi lainnya, itulah yang dielu-elukan orang-orang ataupun media massa ketika membicarakannya. Berbagai bentuk penyampaian aspirasi dalam cara yang baru menjadi satu hal yang seksi serta eksotik bagi khalayak. Keramaian serta keriuhan juga tampak dari banyaknya jumlah pendemo, tersebarnya demo di berbagai kota di penjuru negara, hingga banyaknya arus informasi selama demo berlangsung. Penyampaian aspirasi, yang sekaligus dianggap perlawanan, kali ini merebak ke berbagai penjuru dan begitu mudah diakses oleh masyarakat melalui dunia maya. Semua yang ingin meraka sampaikan dan apapun yang mereka lakukan dipertontokan tanpa takut bersembunyi dari intaian siapapun. Semua tampak bebas melakukan apapun dalam aksi kali ini (terlepas dari kejadian kekerasan aparat terhadap pendemo maupun penduduk yang memang tak akan dibahas di dalam tulisan ini). Agaknya, apakah apa yang dilakukan dalam demo kali ini merupakan suatu perlawanan atau sekadar citra belaka yang ingin dipertontonkan kepada khalayak lain beserta kapitalisme yang tak sadar telah menanungi semu tindakannya tanpa pandang bulu?

Demonstrasi kali ini adalah bisa dibilang merupakan gejala ikutan yang terjadi dari ramainya berbagai isu di Indonesia selama tahun 2019. Katakanlah, entah mana yang pertama, isu seputar Papua, isu seputar KPK, isu seputar KUHP, isu seputar aktivisme, dan hal-hal lain yang meramaikan tontonan masyarakat di media sosialnya masing-masing. Berbekal banyaknya hal yang dianggap tak wajar itu, demo ini bisa merangkul berbagai pemuda dengan latar belakang berbeda dan tuntutan yang akhirnya berbeda-beda pula. Yang menjadi pertanyaan, dengan begitu luasnya cakupan demo mereka, ke arah mana mereka sedang menuju?

Kondisi yang terjadi di #GejayanMemanggil misalnya, justru menunjukkan bahwa mereka adalah keriuhan dengan segala isu yang berbeda-beda. Setiap orang berebut memajang dirinya dengan poster berupa pesan berbeda-beda yang mereka bawa. Tak ada jawaban yang serupa ketika satu persatu dari mereka diwawancarai. Begitupun di dunia maya, apa yang dibawa oleh mereka menjadi begitu luas. Orang-orang berebut untuk tampil sebagai bagian dari demonstrasi kali ini, entah sebagai yang mendukung atau melawan. Di sisi lain, keikutsertaan mereka dalam aksi pun dipampang dengan jelas dalam berabagai foto ataupun video yang mereka unggah ke semesta maya. Tak ada lagi ketakutan dalam keramaian ini, semua perlawanan itu dibawa sebagai hal yang begitu wajar.

Berbagai elemen pun ikut memberitakan hal ini dalam berbagai bentuk. Misal, dukungan terhadap generasi Z sebagai anak-anak muda yang kritis ditunjukkan oleh beberapa media (Narasi, 2019). Ini jelas berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang menganggap bahwa demonstrasi adalah hal yang begitu tabu. Peliputan kali ini makin menyenangkan para peserta aksi yang membuat mereka merasa semakin diterima oleh banyak bagian masyarakat. Pengelu-eluan ini jelas tak bisa mengesampingkan bahwa generasi Z adalah generasi yang begitu dekat dengan teknologi digital hingga, kiranya, media digital harus tetap bisa menarik perhatian mereka. Apa yang mereka tontonkan sebagai informasi menarik atensi para penyedia berita ini untuk dikomodifikasikan dalam bentuk informasi yang akan dibaca ataupun ditonton. Selain pengelu-eluan akan generasi yang berbeda ini, beberapa selebtwit pun ikut membantu mereka. Entah dalam bentuk bantuan sukarela sebagai orang yang ikut andil dalam aksi atau cara lain mereka untuk melakukan fame labour, salah satu bentuk kerja baru yang dilakukan mikroselebriti di dunia nyata ataupun maya untuk mendulang atensi di media sosial agar mendapat modal sosial yang semakin besar pula(Marwick, 2018). Mengikuti keramaian dalam peristiwa besar kiranya wajar dilakukan dalam perebutan atensi ini. Sudah jelas bahwa dalam keramaian yang sekilas tampak homogen sebagai suatu perlawanan, mengikutinya akan mempermudah fame labour tersebut. Toh di sisi lain, viralitas adalah salah satu cara aktivisme bekerja di dunia digital (Lievrouw, 2011).

Pun, di sisi lain, pembacaan serta analisis Big Data membuat hal ini makin ramai. Pola-pola demo makin mudah dibaca dan bagaimana opini terbentuk, meski sedikit tereduksi, bisa dengan mudah dipahami lewat pembacaan ini. Sudah jelas apa bila khalayak bisa membaca gerak-gerik perlawanan ini lewat media sosial dengan mudah, maka penyedia platform pun dapat mengaksesnya dengan lebih mudah. Demonstrasi sebagai resistansi ini di sisi lain merupakan bentuk lain dari pembentukan komoditas informasi yang nantinya dengan mudah dibaca oleh para penyedia jasa media sosial di dunia maya. Alih-alih membuat perlawanan gaya baru, di sisi lain mereka juga mempermudah korporat untuk mencari cara terbaik guna mengooptasi kondisi yang ada pada pendemo, yang tampaknya kebanyakan merupakan generasi muda, ini. Keramaian ini di sisi lain merupakan cara paling mudah bagi orang-orang untuk menjadi pampangan dari demonstrasi. Resistensi gaya baru ini adalah bentuk lain dari konsumsi sekaligus produksi di era informasi serta ekonomi atensi. Selama satu pekan penuh apa yang diberitakan dan dikonsumsi khalayak dalam bentuk menonton dan memberi atensi jelas adalah mereka. Perlawanan ini belum bisa disebut kalah, tapi kapitalisme surveilans dan kapitalisme informas dengan jelas bisa merasuk dalam pergerakan mereka. Ketidakjelasan arah demo pun membuat resistensi ini dipertanyakan keberhasilannya selain membuat riuh arus informasi selama beberapa saat saja.

Beragamnya poster yang dipampang oleh setiap individu juga merupakan bentuk dari bagaimana mereka ingin menjadikan dirinya sebagai tontonan. Setiap orang berebut untuk didokumentasikan dengan pesan semenarik mungkin. Tak ayal bahwa setelahnya mereka akhirnya menjadi sesuatu yang viral dan diberitakan banyak media massa pula. Perlawanan, atau mungkin kreativitas, yang mereka tunjukkan tak lebih dari bentuk komodifikasi citra perlawanan yang nantinya diserap oleh berbagai korporat-korporat dalam ekonomi atensi. Jiak bukan perhatian, apa yang mereka cari atau perjuangkan dengan beragamnya pesan perlawanan yang tak jelas arahnya ke mana.Perlawanan anak SMK pun menjadi tontonan yang tak kalah ramai dalam aksi ini. Beberapa dari mereka pun mengunggahnya ke media sosial dan akhirnya juga memberi banyak atensi pada pengguna-pengguna lainnya untuk dianggap sebagai suatu tontonan.

Anonimitas pun tak tampak dalam demo ini. Meski jelas bahwa dengan semakin mudahnya seseorang untuk di tangkap di masa UU ITE, menampilkan identitas diri adalah sesuatu yang berbahaya. Hasrat untuk mendapat atensi masih menjadi hal yang menggairahkan di tengah kondisi perlawanan yang dipertanyakan keperlawanannya ini. Orang berebut untuk dilihat sebagai bagian dari keramaian yang kritis dan berani melawan. Demonstrasi yang masif dan sering dianggap berbahaya perlahan menjadi hal yang banal karenanya. Kegiatan mengikuti perlawanan ini menjadi satu bentuk konsumsi atas citra yang begitu diidam-idamkan. Resistensi perlahan menjadi bagian dari konsumsi citra melawan yang dielu-elukan anak muda. Melawan adalah mengonsumsi, dan itulah kiranya yang dapat dilihat dari beberapa film dokumenter tenang aksi ini(Watchdoc, 2019).

Menyoal temporalitas dalam aksi ini dapat dilihat dengan mudah dari hilangnya pemberitaan ataupun menyusutnya massa aksi. Aksi yang begitu ramai diberitakan di pekan pertama ini perlahan kehilangan massa ketika sudah mencapai pekan kedua. Perlawanan mulai goyah ketika DPR mengumumkan bahwa pengesahan akan ditunda. Selain itu, tuntutan lainnya tak terlihat dapat dipenuhi. Konsistensi perlawanan untuk menghasilkan perubahan yang mungkin lebih berkelanjutan tak tampak dalam kejadian-kejadian setelah aksi ini. Apa yang terjadi selama satu pekan tak tampak membuat perlawanan yang lebih besar setelahnya, ia menjadi sekadar perayaan sementara, atau mungkin bisa disebut seremoni ketimbang ritus demokrasi. Pampangan yang ada dalam aksi ini berakhir sebagai sesuatu yang temporer dan hilang dari pemberitaan massa beberapa hari setelahnya saja. Fokus atensi orang-orang berubah pada berita-berita lain yang disajikan tak jauh dari aksi ini. Aksi besar-besaran ini akhirnya mulai dilupakan dan hanya menjadi bagian dari atensi sesaat saja. Konsistensi pesan dari aksi ini akhirnya melemah begitu saja dan ia tak lebih dari gerombolan informasi yang berdatangan di jagad media sosial. Membandingkannya dengan aktivisme media sosial seperti yang terjadi di Prancis melalui #YellowVest, Mesir, Hong Kong, dan negara lain mungkin terlalu berlebihan bila misal harus melihat kenyataan bahwa resistensi mereka akhirnya bersifat temporer dan telah direkuperasi sebagai sekadar informasi belaka.

SIMPULAN

Demonstrasi #ReformasiDikorupsi merupakan bentuk lain demonstrasi yang terus-terusan digembar-gemborkan di dunia maya sebagai satu bentuk demo yang baru dari generasi baru yang sudah terpapar oleh duni digital sedari kecil. Perlawanan mereka yang unik agaknya menjadi perhatian yang menarik khalayak. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah ia benar-benar merupakan resistansi atau justru sekadar rekuperasi?

#ReformasiDikorupsi yang merupakan demo besar-besaran yang belum tampak pengaruh kecil ataupun besar dapat dibilang adalah salah satu bentuk pelarian masyarakat dari kesehariannya, dari kegiatan produksi menuju pelarian dalam bentuk perlawanan yang pada akhirnya justru menjadi bagian yang terkooptasi kapitalisme melalui skema ekonomi atensi. Alih-alih menjadi bagian yang melawan sistem, ia justru tampak sebagai bagian dari masyarakat yang terelasikan dalam bentuk tontonan. Ketimbang membuat suatu detournement, ia justru terekuperasi oleh kapitalisme. Perlawanan-perlawanan yang mereka lakukan justru menjadi bagian dari informasi-informasi yang ikut serta dalam perburuan atensi yang sedang gencar dilakukan oleh kapitalisme informasi beserta perangkat kapitalisme surveilans.

Kekritisan pendemo tak lebih dari eskapisme orang-orang dari kesehariannya. Mereka menjadi bagian dari hiburan sekaligus tontonan bagi sistem ini sendiri. Kekritisan dan aksi yang mereka lakukan tak lebih dari citra yang justru menjadi bahan komodifikasi oleh media massa maupun wahana bagi mikroselebriti untuk melakukan fame labour. Resistensi, alih-alih menjadi suatu tindakan perlawanan justru mengejawantah sebagai bentuk konsumsi. Orang-orang mencari identitasnya melalui kegiatan demonstrasi sebagai bagian dari keriuhan massa. Ketimbang melawan, semua ini lebih terlihat sebagai cara lain kapitalisme untuk mengooptasi perlawanan dalam bentuk kelimpahan informasi di dunia nyata maupun maya. Atau katakanlah, semua ini adalah abundance of spectacle, kelimpahruahan tontonan sebagai suatu relasi yang membentuk masyarakat yang sedang melawan di dalam skema ekonomi atensi. Yang mereka lakukan bukanlah perlawanan melainkan suatu pencarian atensi, sembari menunjukkan identitas, dan mempertunjukkan segala macam simbol yang melekat pada dirinya.

Demonstrasi #ReformasiDikorupsi, akhirnya, ketimbang dilihat sebagai sebuah ruang untuk memberikan pendapat tentang satu isu yang berkaitan dengan demokrasi justru hanya merupakan tontonan ataupun pampangan. Ia, sebagai demonstrasi, tak lagi merupakan cara untuk mengubah suatu struktur melalui aspirasi besar-besaran di jalan. Namun, sekali lagi, ini semua tak bisa melulu dianggap kesalahan dari kegiatan ini sendiri. Bagaimanapun, kapitalisme selalu akan beradaptasi dan menghantui segala lini yang ada di dunia. Bentuk kapitalisme begitu fleksibel sehingga selalu, kelak, ada lagi bentuk baru perlawanan yang tetap dapat direkuperasi atau dikooptasi.

Mengafirmasi perkataan media massa bahwa generasi sekarang lebih kritis pun tampaknya adalah sebuah hal yang terlampau heroik. Mereka tak lebih dari gejala ikutan atas terjadinya perlawanan besar-besaran yang dapat merangkul massa yang begitu banyak dari berbagai latar belakang pula. Terlalu luasnya cakupan demo ini pula yang akhirnya membuat ia tampak menjadi gerakan yang temporer. Ia tak dapat mempertahankan pendapatnya di tengah gencaran komoditas-komoditas lain yang lebih melayak untuk dijadikan tontonan. Penarikan atensinya hanya menjadi hal yang menarik untuk sementara waktu saja bagi kapitalisme informasi. Pun masyarakat tak bisa terus-terusan menikmati eskapisme di tengah tekanan untuk selalu melakukan kerja produksi dan konsumsi dalam kesehariannya. Tak pelak lagi, ia masihlah sebuah pampangan.

Sebagai penutup atas tulisan ini, kiranya penting untuk mengutip salah satu pesan Guy Debord bahwa, “There is no place left where people can discuss the realities which concern them, because they can never lastingly free themselves from the crushing presence of media discourse“ (Debord, 1988: 7). Kiranya masyarakat masih susah untuk melepaskan diri dari wacana media, perlawanan mereka tak lebih akan menjadi bagian dari tontonan yang selama ini telah membentuk relasi masyarakat. Demonstrasi kali ini tak bisa dibaca melebihi bahwa ia hanyalah bentuk lain dari pampangan dan terlalu heroik untuk melihatnya sebagai resistansi. Rekuperasi telah bekerja sebegitu bagusnya dalam membolak-balikan detournment. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kali ini dalam demonstrasi #ReformasiDikorupsi tak lebih dari tindakan resistensi sebagai bentuk konsumsi atas simbol, yaitu simbol perlawanan yang begitu menawan.

DAFTAR PUSTAKA

Debord, Guy. The Society of the Spectacle. Zone Books, 1994.

Debord, Guy. Comment on The Society of the Spectacle. Zone Books, 1994

Marwick, A. E. (2018). The Algorithmic Celebrity: The Future of Internet Fame and Microcelebrity Studies. In Microcelebrity Around the Globe (pp. 161–169). Emerald

YouTube. (2019). MOSI TIDAK PERCAYA — Part 2. [online]: https://www.youtube.com/watch?v=QOHSxgPIqEE [Diakses pada21 Oct. 2019].

Adam, A. (2019). Memahami Peran Gen Z dalam Aksi #ReformasiDikorupsi di DPR — Tirto.ID. [online] tirto.id. https://tirto.id/memahami-peran-gen-z-dalam-aksi-reformasidikorupsi-di-dpr-eiNt [diakses pada: 21 Oct. 2019].

--

--

No responses yet