Greek Weird Wave: Sajian Keanehan sebagai Kritik Sosio-kultural

Atolah Renanda Yafi
5 min readOct 9, 2021

--

Sejak kemunculan film Dogtooth pada 2009 lalu di beberapa festival film internasional, khalayak mulai memperhatikan perkembangan film Yunani. Yorgos Lanthinos, sang sutradara, memang menyajikan film yang tidak biasa, atau bahkan sangat aneh, kepada para penonton. Kita akan melihat satu keluarga beranggotakan ayah, ibu, seorang anak lelaki, dan dua anak perempuan yang cukup janggal. Selama bertahun-tahun mereka hampir tak pernah keluar rumah, kecuali sang ayah yang harus bekerja. Sedangkan keempat anggota lainnya terus-terusan berinteraksi di dalam rumah tanpa tahu apa yang terjadi di dunia luar. Satu-satunya orang yang luar yang boleh masuk ke rumah itu hanyalah Christina (ia pula merupakan satu-satunya orang yang memiliki nama di film ini), seorang satpam yang ditugaskan sang ayah untuk memenuhi kebutuhan seksual si anak lelaki.

Tak cukup sampai situ, pun Ayah mereka mendoktrin bahwa dunia luar begitu mengerikan dan mereka baru boleh keluar rumah bila gigi taring (dogtooth) mereka telah tanggal dan — bila ini memang bisa terjadi — tumbuh lagi. Anak-anak itu setiap harinya diberi kosakata baru berikut pemaknaannya; bahwa sea adalah sofa empuk, pussy adalah lampu besar, dan keyboard adalah vagina. Mereka dibiasakan untuk menjilat-jilat ketika mengungkapkan keinginannya akan sesuatu. Kucing dianggap sebagai binatang yang sangat berbahaya dan kita akan melihat scene pembunuhan kucing tanpa sensor sekalipun. Kedua anak perempuan juga baru mengerti tentang identitas setelah melihat VCR yang dipinjamkan Christina, dan sang kakak memutuskan untuk menamai dirinya Bruce. Pula, sang ayah melatih keempat anggota keluarganya untuk menjadi anjing yang patuh. Di akhir film kita akan melihat keempatnya berdiri dengan tangan dan kaki sembari menggongong layaknya anjing penjaga rumah.

Aspek-aspek lainnya dalam film ini juga cukup berbeda (untuk tak menyebutnya aneh sekali lagi) ketimbang film pada umumnya. Para tokohnya berakting dengan kaku dan sama sekali tak natural, berbicara dengan ekspresi yang tak sinkron, dan berinteraksi dengan begitu canggung satu sama lain. Kamera cenderung statis dengan fokus yang tak berganti meski dalam satu dialog ada dua tokoh yang berbincang bergantian. Keseluruhannya, dari jalan cerita hingga penyajiannya, adalah keanehan dalam Dogtooth itu sendiri. Tak ayal bila pada festival Cannes 2009 lalu ia menyabet penghargaan Un Certain Regard.

Tak lama setelah rilisnya Dogtooth, muncul beberapa film Yunani lain yang menyajikan keanehan serupa. Misalnya Attenberg (2010) sebuah film yang menceritakan tentang Marina (Ariane Labed), seorang perempuan berusia 23 tahun yang cukup terganggu dengan sentuhan manusia. Ia begitu dekat dengan ayahnya, menyukai hal-hal dari masa lalu seperti dokumenter dari David Attenborough dan musik dari Suicide.

Pada adegan awal film ini kita akan melihat Marina dan kawannya berciuman dengan cara-cara yang tak wajar sebagai eksperimen atas kuriositas mereka. Selama dua menit mereka mencoba berbagai cara untuk menikmati — atau setidaknya menjelajahi sensasi — pertemuan lidahnya. Semua disajikan dengan banal tanpa terasa sebagai adegan seksual yang menggairahkan. Selain itu ada pula percakapan bagaimana Marina sering kali membayangkan bapaknya telanjang bulat, tetapi tanpa penis. Pun, sama halnya seperti Dogtooth, film ini menyajikan akting yang kaku, mimik tanpa ekspresi, gerakan-gerakan aneh (yang mungkin bisa disebut tarian pula) dari beberapa karakter, gerakan kamera yang cenderung statis.

Kedua film ini membuat Steve Rose menjuluki film-film Yunani dengan estetika serta cerita yang aneh tersebut sebagai Greek Weird Wave. Aneh dalam artian bahwa mereka tak memakai gaya-gaya yang lazim digunakan film pada umumnya dan cenderung membuat penonton merasa bingung serta tak nyaman ketika menyaksikannya. Bila Lars Von Trier, salah satu penggagas gelombang Dogme 95, mengatakan bahwa seharusnya film-film unik itu seperti kerikil yang mengganjal di antara sepatu dan kaos kaki kita, Greek Weird Wave menyajikan keunikan yang menganggu dengan cara lain, ia lebih seperti tanah becek serta berlumpur yang kita injak tanpa kesiapan sama sekali: menjijikan, membuat pasrah, tapi tak melukai kita.

Mario Psaras, salah seorang sarjana Yunani, menyatakan bahwa Greek Weird Wave (yang pula lebih suka menyebutnya sebagai Greek Queer Wave / Queer Greek Weird Wave untuk menjelaskan keanehannya yang lebih lepas dan lebih bebas untuk diinterpretasikan) merupakan gerakan yang politis dan penuh kritik atas kondisi sosial Yunani sendiri. Ia lahir selepas tragedi 6 Desember 2008 yang menewaskan Alex Grigoropoulos, seorang pelajar yang dibunuh oleh polisi di Exarcheia, wilayah pusat Athena yang menjadi tempat bagi para anarkis dan antifasis. Menurut Psaras, film-film Greek Weird Wave merespon hal itu (kebrutalan pemerintah dan masalah sosial-kultural di Yunani) dengan membuat film yang sedikit berbeda dengan pakem serta begitu multitafsir untuk merusak tatanan tanda yang telah mapan. Bisa dibilang apa yang dilakukan film ini justru merupakan usaha untuk menciptakan krisis makna. Yorgos Lanthimos sendiri, dalam sebuah wawancara, pernah berkata, “We just do things without explaining why.”

Dalam Greek Weird Wave, tema-tema kecil seperti keluarga kerap dipilih, menurut Psaras, karena konsep Keyunanian yang dicanangkan oleh gereja ortodoks sendiri terpusat pada keluarga sebagai model organisasi yang disebut Nikokirei. Sistem keluarga ini pula yang memengaruhi organisasi politik di negara tersebut, membuatnya begitu korup dan dipimpin oleh segelintir keluarga dengan saja dengan nepotisme yang sulit dihindari. Kebobrokan Yunani bisa dibilang bukan secara ekonomi semata, tetapi secara spiritual pula di mana sulit untuk menjelaskan seperti apa seorang Yunani di tengah kultur yang telah dibentuk oleh negara dan gereja ortodoks. Yang menarik dari gelombang ini ialah: ia menuturkan kisah-kisah dari orang-orang marjinal sembari mencerca masalah-masalah dalam masyarakat Yunani. Meski mereka tak secara langsung menyatakan masalah sosial apa yang sedang dibahas, tetapi penonton dibuat mengeri secara perlahan melalui hal-hal yang aneh dan mengganggu. Pun, di sisi lain, kita bahakan menyaksikan bagaimana seks — tak seperti dalam film-film Hollywood — justru menjadi hal yang banal dalam film Yunani, menyaksikan orang berhubungan badan di sini sama biasanya dengan menyaksika seseorang sedang memotong rumput di halamannya.

Beranjak dari Dogtooth (2009) dan Attenberg (2010), film-film Yunani masih konsisten menampilkan cerita aneh serta mengganggu bagi penontonnya. Alps (2011) yang juga disutradari oleh Yorgos Lanthinos bercerita tentang orang-orang yang bekerja sebagai pengganti anggota yang mati dalam suatu keluarga, film ini tampak lebih berfokus pada bagaimana orang-orang itu bekerja dan berusaha menjadi orang yang ditinggalkan ketimbang pada kesedihan keluarga klien. Sedangkan beberapa film Lanthinos selanjutnya seperti The Lobster (2015) dan Killing Sacred Deer (2017) saya rasa susah untuk dikategorikan sebagai bagian dari gelombang ini. Keduanya sudah memakai sinematografi yang baik dan wajar-wajar saja serta mendapat popularitas besar karena budget yang besar pula. Hal ini cukup berbeda dengan film Yunani lainnya yang cenderung harus berkreasi karena kurangnya dana serta bertahan hidup dari festival ke festival dengan keunikannya. Pun, Athina Rachel Tsangari, Sutradara Attenberg (2010) dan Chevalier (2015) bahwa kemiskinan serta kurangnya dana adalah paksaan yang membuat mereka dapat menciptakan keanehan yang menawan.

Pada perkembangannya, film-film Yunani sejak 2014 memang terlihat lebih berkembang meski tetap bertahan hidup dari festival ke festival. Chevalier (2015), Suntan (2016), dan Pity (2018) mislanya, sudah memberi tampilan yang lebih apik kepada para penonton sembari tetap mempertahankan apa yang telah dilakukan para pendahulunya: cerita-cerita tragis yang pula dapat dinikmati sebagai komedi gelap, adegan seks yang tak menggairahkan serta tak romantis sama sekali, dan cakupan yang begitu kecil tentang individu atau keluarga yang termarginalkan. Seperti kata Psaras, secara konsisten kritik sosial mereka tetap bertahan sebagai krisis makna yang merusak tanda-tanda yang telah mapan dalam masyarakat Yunani itu sendiri.

--

--