Kesengsaraan Digital dan Distopia Kita

Atolah Renanda Yafi
8 min readFeb 24, 2020

--

https://i.pinimg.com/originals/de/d9/b1/ded9b1df2fbce84006ab01e16e5b96c7.jpg

“Now I am become Death, the destroyer of worlds”

Robert Oppenheimer, 1945

Oppenheimer dengan spontan mengutip kalimat di Bhagavad Gita ketika menyaksikan percobaan peledakan bom atom di Jornada del Muerto. Ketakutan berikut penyesalan besar menjalar begitu ia sadar bahwa usahanya selama ini hanya akan menghasilkan pemusnahan massal. Atas nama keadilan harus ada orang-orang tak bersalah yang dikorbankan. Para jenderal Amerika pun berikukuh bahwa kebiadaban fasisme hanya bisa dihentikan dengan cara ini, dan Oppenheimer tak bisa melakukan apapun kecuali mematuhinya. “Para fisikawan tahu betul akan dosa besarnya; ini adalah memori yang tak bisa mereka tolak,” kata Oppenheimer dua tahun setelah berakhirnya Perang Dunia 2.

Ketakutan atas pengetahuan dan teknologi tak berakhir begitu saja. Pada tahun 1949 George Orwell menerbitkan 1984: novel tak kenal zaman yang memprediksi bahwa suatu hari kita akan mengenal dunia serba canggih dengan logika serba paradoks. Kemunculan buku ini menjadi perhatian khalayak dengan ramalannya yang terkesan konyol tetapi juga menakutkan. Terkadang beberapa orang pun membandingkan distopia versi Orwell dengan distopia versi Aldous Huxley di Brave New World. Namun bukan pembenaran di antara keduanya yang penting untuk diperdebatkan atau bahkan ditunggu; kita masih mendapat ramalan distopia lain dua dekade setelahnya.

Tepat pada 1984 kita berkenalan dengan satu genre sastra yang cukup fenomenal: Cyberpunk. Ia adalah salah satu anak dari fiksi ilmiah — science fiction bila kalian tak tahu apa terjemahannya — yang berfokus pada kondisi di mana teknologi begitu canggih, tetapi kehidupan begitu sengsara (high-tech, low-life). Semua ini dimulai dengan novel Neuromancer karangan William Gibson yang membayangkan kehidupan di mana manusia terpaksa hidup di dua dunia (nyata dan virtual) tanpa bisa memiliki kesadaran ganda. Neuromancer yang juga menggambarkan bagaimana manusia-manusia di masa depan harus hidup serba susah di tengah gempuran teknologi yang sangat maju lagi-lagi menghasilkan takut dan tawa seperti halnya 1984. Kala itu mungkin masih susah membayangkan bagaimana mungkin ramalan para sastrawan ini menjadi kenyataan yang menggempur keseharian kita.

Di sisi lain para akademisi yang terlanjur kerajingan dengan hal ini justru membuat satu kajian baru: Cyberculture. Satu studi yang memusatkan perhatian pada relasi antara keseharian dan sumbangsih teknologi terhadapnya. Pandangan teknodeterminis yang menganggap bahwa semua perkembangan kehidupan ditentukan oleh teknologi pun muncul (salah satu justifikasinya ialah peran mesin cetak, mesin uap, generator listrik, dan komputer terhadap kemajuan zaman). Yang paling seksi bagi para intelektual adalah pandangan Donna Haraway: bahwa akhirnya kita harus mengenal istilah natureculture untuk mengiyakan bahwa teknologi dan alam adalah hal yang tak terpisahkan. Budaya (beserta teknologi) selalu muncul dari alam, entah dalam artian bahwa semua bahan bakunya berasal dari alam atau manusia membutuhkan alam untuk mulai menciptakan teknologi. Kebersatuan antara yang natural dan yang canggih ini kelak menciptakan konsep Cyborg: manusia sekaligus mesin. Semua hasil dari studi ini dengan mudah dapat kita lihat pada karya-karya cyberpunk seperti Blade Runner, Akira, Matrix, Alita: Battle Angel, Ghost in The Shell, dan banyak lagi. Namun pertanyaan terbesarnya adalah: apakah benar kita akan menghadapi dunia seperti itu?

Satu dekade setelah Neuromancer muncul kita harus mendapati bahwa internet telah mewabah ke seluruh dunia. Manusia dengan mudah memperoleh berbagai informasi hanya dengan membuka komputernya. Tak lama setelah itu, layanan Web 2.0 muncul. Ia memungkinkan para pengguna internet untuk membuat konten sendiri di situsnya. Tak ada lagi komunikasi satu arah yang dikendalikan oleh server. Internet seakan menjadi dunia penuh kebebasan dengan inovasi ini. Semua orang berhak membuat apapun dan menyuakan segala hal yang ada dibenaknya. Kuasa yang otoriter menjadi dipertanyakan dengan munculnya ruang-ruang bebas bagi khalayak ini. Tak heran bila kita sering menyaksikan kejadian-kejadian besar yang dipantik oleh kebiasaan orang-orang membaca dan berdiskusi di dunia maya. Kita perlahan menemukan dunia kedua seperti di Neuromancer, tetapi dengan kebebasan tentunya.

Tak cukup sampai sana, perekonomian bisa dibilang berubah pesat dengan munculnya internet dan segala digitalisasinya. Kita mendapati banyak pekerjaan baru dengan kehadirannya. Semua hal yang berbau analog mulai ditinggalkan dan semua dapat diperoleh melalui dunia maya. Tak perlu lagi seseorang pergi ke kantor karena ia bisa bekerja di depan layar. Industri-industri besar mulai mendapat banyak ancaman karena munculnya orang-orang kreatif yang dapat membuat segala hal dengan mudah. Perlahan dunia konsumsi dan produksi pun tak mengenal batasan, karena Web 2.0 memungkinkan kita untuk menjadi keduanya dalam waktu bersamaan. Lebih dari itu, batas-batas negara semakin tak jelas sehingga orang-orang dari negara dunia ketiga bisa dengan mudah mengakses pekerjaan dari negara maju. Pendapatan mereka lebih banyak disertai dengan cara kerja yang lebih bebas. Sekali lagi, yang menjadi pertanyaan, apakah sepenuhnya kita bebas?

Di akhir tahun 2000an kita mendapat hal baru lagi dari internet: media sosial. Ia akhirnya tak hanya mengubah cara kita mendapat pengetahuan atau mencari uang, tetapi juga bersosialisasi. Relasi kita dengan oran lain tak cukup dibuktikan di dunia nyata, tetapi juga dengan saling follow, add, dan berinteraksi di dunia maya. Perkembangan teknologi gawai pun makin mendukungnya, ia membuat manusia akhirnya bisa online setiap saat dan terus-terusan menjalani kehidupan dua dunia yang berbeda. Meminjam istilah Luciano Floridi, kita menjalani kehidupan onlife (online dan onlife) di mana batas antar dunia nyata dan maya menjadi kabur. Pahitnya, ini semua harus dijalani dengan kesadaran tunggal.

Menyoal semua perkembangan teknologi ini, kita harus mulai mengakui adanya oposisi biner yang kita percaya terhadap pengetahuan alam dan peradaban. Bahwa yang canggih senantiasa lebih baik ketimbang yang usang atau primitif. Bahwa kita percaya teknologi selalu membawa kemajuan serta kemewahan hidup, sebagaimana tujuan ia diciptakan: memudahkan kita dalam menghadapi segala persoalan. Namun benarkah itu?

Kenyataan paling janggal dari teknologi informasi dan keseharian kita adalah: banyak dari mereka yang kita dapatkan dengan cuma-cuma. Setiap hari kita bisa mengakses apapun hanya dengan modal pulsa internet atau wifi gratis, dan semua itu bukanlah konten bajakan. Kita bisa membaca berita dengan bebas tanpa perlu susah-susah membeli koran. Kita dapat menghubungi teman tanpa perlu pergi atau telpon dengan mahal. Kita pun dapat mendengarkan berbagai musik tanpa perlu membeli kasetnya di toko. Lalu, jika memang gratis, tak adakah yang kita bayar kepada mereka?

Tentu ada, dan salah satunya adalah informasi diri dan segala kebiasaan kita. Mungkin ramalan Huxley dan Orwell mulai tampak benar di sini. Bahwa apa yang kita lakukan di dunia maya adalah free labour (kerja waktu luang) yang kita berikan pada berbagai perusahaan di dunia maya. Kita memberi semua data dengan cuma-cuma untuk membuat mereka mengerti informasi dan barang apa yang kita butuhkan. Tak ayal, satu saat akan muncul iklan-iklan dari produk yang kita butuhkan. Dengan jumlah yang besar pula. Mereka pun tak akan lagi memandang kita sebagai manusia, tetapi sebagai data semata. Hanya perkara apa yang kita klik sehari-hari dan statistik yang menunjukan pola-pola kegiatan kita di internet. Pengawasan adalah salah satu moda utama dalam apa yang kita sebut Surveillance Capitalism. Dan perlu diingat, tak perlu lagi kita menghindari panopticon di mana-mana dalam bentuk menara pengawas, polisi, ataupun CCTV. Nyatanya, setiap hari kita bertemu dengan panopticon berupa ponsel pintar dan gawai-gawai lainnya.

Cukup sampai sini? Tampaknya tidak. Satu hal yang perlu disadari sejak munculnya internet ialah informasi semakin mudah diakses, tetapi ia juga semakin banyak. Kita tak tahu lagi betapa banyaknya berita yang ada di linimasa twitter dalam satu hari. Atau bahkan kita tak dapat mengakses kabar kawan-kawan kita secara menyeluruh di instagram. Selalu ada waktu yang dikorbankan untuk mengakses informasi, tetapi yang menjadi masalah: informasi itu tak terbatas dan senantiasa bertambah banyak. Maka corak ekonomi sekarang bukanlah ekonomi informasi, karena jelas-jelas ia berserakan di mana-mana tanpa perlu dicari-cari. Hal yang menjadi langka ketika informasi mulai meledak ialah atensi. Dan begitulah, ekonomi atensi ialah yang kita hadapi sehari-hari. Kita berhadapan dengan berbagai pihak yang meminta atensi kita dengan berbagai cara. Tak ayal bahkan bila perusahaan besar seperti Google ataupun Facebook mengembangkan rekayasa atensi agar mata kita tak pernah teralihkan dari layar kaca. Sehari-hari kita selalu terdistraksi oleh gawai kita sendiri. Tak ada lagi dunia di mana orang bisa berlama-lama fokus dengang kegiatannya sendiri. Buang pula semua pandangan bahwa yang kita lakukan di internet itu penuh kebebasan: hampir semuanya telah diarahkan oleh rekayasa atensi.

Kebebasan bekerja? Saya rasa ini yang paling konyol. Mungkin memang milenial adalah generasi yang bisa bekerja dengan fleksibel: sesederhana ia bisa bangun tidur lalu menatap layar untuk mendapat uang. Namun apa yang tak pernah disadari dari itu semua adalah kerentanannya. Prekariasi. Kita semua menghadapi kelas pekerja baru yang lebih rentan ketimbang proletar. Meminjam istilah dari Guy Standing, kelas ini ialah prekariat. Ia adalah kelas yang tak memiliki berbagai jaminan dalam hidupnya. Kita tak pernah tahu apakah freelancer bisa mendapat dana pensiun. Kita tak pernah tahu apakah mereka bisa terus-terusan bekerja serabutan seperti itu. Dan lagi, tak ada jaminan atas kehidupannya. Jangankan membayar asuransi, membayangkan tahun depan bisa dapat proyek atau tidak saja rasanya begitu sulit. Kerentanan ini diperparah oleh platform prekariat macam Upwork. Manusia negara dunia ketiga sering kali terjebak dengan kebebasan jam kerja dan upah standar negara maju. Padahal ini menandakan satu hal: bahwa mereka bisa saja kerja terus-terusan sepanjang hari dan bahwa mereka dipekerjakan karena upahnya yang murah. Masalah akan muncul ketika pekerja yang lebih handal tetapi berupah murah muncul: pekerja tadi sontak akan kehilangan pekerjaannya. Maka apa yang harus dilakukan ialah race to the bottom, orang berlomba mengajukan upah yang lebih murah di tengah persaingan yang gila-gilaan. Masalah lainnya, platform ini lebih bengis dari itu. Jika seorang pekerja terlihat tak aktif selama beberapa hari, maka ia bisa kehilangan reputasi dan peluang kerja. Ini berarti: selain harus bekerja dengan upah yang makin murah, ia juga harus bekerja terus-terusan. Bersyukurlah, kasus ini belum banyak terjadi di Indonesia.

Lalu perkara kebodohan dan kepintaran kita bersama extended mind. Google seakan telah menjadi bagian dari tubuh kita. Apapun hal yang kita pertanyakan, Google selalu bisa menjawabnya. Coba saja sebutkan satu persatu: alamat rumah, soal-soal sulit di sekolah, hari libur, kejadian terkini, gosip-gosip selebriti, fakta sejarah, bahkan weton dan neptu kita. Dengan malas kita membuat Google (dan perangkat lain) semakin pintar melalui data yang mereka ambil, dan kita makin bodoh serta ceroboh karena terlalu malas untuk berpikir, mengahapal, atau bahkan menyadari apa yang sedang kita lakukan dengannya. Tak perlu lagi kita mencari seseorang yang bisa menulis tentang pengetahuan paling unik, karena Google pun sudah melakukannya untuk kita. Lalu, apa gunanya berpikir untuk manusia masa kini?

Proyeksi menakutkan dari segala kemajuan teknologi ini adalah ketidakberdayaan manusia serta alam. Kita sudah melihat bagaimana alam dirusak karena sains yang dimanfaatkan dengan semena-mena demi kerakusan kita dan perlahan kita akan mendapati keseharian manusia yang makin rentan, lemah, dan bodoh karena ciptaannya sendiri. Ketakutan Oppenheimer akan teknologi yang akan menghacurkan dunia dengan seketika tampaknya perlu dipertanyakan lagi, setidaknya hingga Perang Dunia Ketiga benar-benar terjadi. Toh, sampai saat ini senjata pemusnah massal belum menghasilkan efek semengerikan bom atom bertahun-tahun yang lalu. Yang lebih perlu ditakutkan adalah kelumpuhan yang telah dijanjikan oleh teknologi yang makin berkembang. Kita akan melihat kemalasan dan kedunguan sebagai bagian dari keseharian yang perlahan mengonstruksi distopia kita. Hasrat kita untuk terus-terusan menjadi yang paling canggih adalah muasal dari buah yang akan kita petik: keengganan kita untuk menyadari bahwa segala kemajuan ini adalah bentuk lain dari dunia yang makin gelap.

Adakah solusi?

Mungkin, di mimpimu.

--

--

Responses (1)