Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak [2017]

Atolah Renanda Yafi
2 min readJan 17, 2020

--

Setelah dua kali menonton film ini, saya tak tahu apa yang harus dibahas. Untuk sebuah film yang disebut thriller, ia tak menawarkan ketegangan apapun. Tak ada pemerkosaan yang menyiksa, tak ada kekejaman yang nyata, bahkan leher bisa dengan mudah ditebas oleh pembunuh amatir dengan golok yang tak tampak tajam. Alangkah indahnya bila leher itu ditebas berkali-kali hingga terdengar suara dari tenggorokan dan disertai kucuran darah dan kepala yang menggelinding, sedikit menuntaskan dendam kita pada sang pemerkosa.

Beberapa kawan bertutur bahwa banyak sindiran akan relasi gender, dan segala tetek bengek akan hal-hal patriarkis, di film ini. Namun toh apa yang dimaksud sebagai kejamnya penindasan tak benar-benar merasuk hingga ke ulu hati. Empat babak yang ada begitu terasa datar, rasa-rasanya terlalu sulit untuk menciptakan kesedihan dan ketakutan selama 90 menit di depan layar.

Entah ini masalah durasi yang terlalu pendek, sensor yang terlalu banyak, atau akting pemerannya yang tak tampak nyata. Marlina hanya terlihat indah begitu kita tahu tujuan ceritanya dari awal, dengan angan-angan dari promosi filmnya yang sudah mengelabui kita. Saya tak tahu apa yang bisa dibilang bagus, mungkin musik dan penampakan alam Sumba di film ini saja.

Bandwagon dari promosinya berperan penting atas komentar-komentar bahwa film ini adalah film bagus.

6/10

--

--

No responses yet