Music Streaming dan Yang Berubah dalam Perbedaan Selera Musik

Atolah Renanda Yafi
5 min readDec 4, 2019

--

https://www.alizila.com/wp-content/uploads/2019/07/audio-graphic-headphones-music-streaming-992x523.png

Kira-kira sudah hampir dua dekade sejak manusia mulai mengubah caranya dalam menikmati musik. Kira-kira pada tahun 90’an seseorang harus ke toko kaset untuk membeli rekaman dari musisi yang ingin ia dengarkan, itu pun jika ia sudah tahu siapa yang akan didengarkannya. Jika belum, maka ia harus bersiap mencoba satu persatu kaset yang sudah disediakan oleh toko tersebut. Kadang yang akan membuat sulit ialah bila ia sudah tahu akan mendengarkan siapa, tetapi toko kaset belum menyediakan kaset dari musisi tersebut. Alhasil, ia harus rela menunggu suara artis itu di radio atau televisi dalam pada saat yang belum tentu bisa diduga.

Sulitnya mendapat rekaman musik sesuka hati jelas membuat popularitas musik tertentu begitu mudah ditebak. Mereka yang tak dapat membeli rekaman musik jelas harus rela seleranya ditentukan oleh pasar melalui musik-musik yang diperdengarkan secara cuma-cuma di radio maupun televisi. Sedangkan mereka yang memiliki uang lebih jelas akan dengan mudah memilih musisi mana yang lebih menarik bagi telinganya. Maka bisa saja kita mengafirmasi pandangan Bourdieu tentang bagaimana kelas mengonstruksi selera estetika masyarakat; bahwa terdapat selera tinggi yang terlegitimasi (legitimate taste) dan selera popular yang kerap disebut jelata atau rendahan (popular tatste). Selera tinggi dibentuk melalui sekolah-sekolah dengan segala ajarannya mengenai konsep dan filosofi seni yang indah. Sedangkan selera populer begitu dekat kehidupan sehari-hari, ia bisa didapatkan dari manapun dan lebih mudah merasuk dalam kehidupan kelas pekerja.

Kondisi ketika orang-orang terpaksa mendengarkan musik secara gratis dari radio, yang entah mereka miliki atau tidak, perlahan akan membuat selera mereka sesuai dengan selera populer. Sedangkan mereka yang dapat mencari seleranya sendiri akan menganggap bahwa dirinya lebih elit dan punya standar estetika yang lebih baik, atau mungkin biasa disebut sebagai snob.

Snob, meski belum tentu kalangan terdidik seperti para aristokrat, memiliki seleranya sendiri karena keleluasaannya tadi dalam memilih-milih sendiri musik yang ingin ia nikmati. Ia tak mendapati keharusan untuk menuruti selera pasar yang sebenarnya lebih mudah diakses. Maka bukan hal yang mengejutkan bahwa kemunculan snob di tahun 80’an atau 90’an didominasi oleh kelas menengah atas. Genre tertentu dari musik menjadi dianggap lebih tinggi, meskipun bukan klasik ataupun jazz, ketimbang genre-genre yang dipopulerkan oleh pasar; salah satu kuratornya adalah mereka yang menjadi snob ini.

Kondisi tersebut, uniknya, mulai berubah semenjak kemuncul teknologi internet dan juga dunia digital. Napster dan berbagai situs pembajakan lainnya mempermudah masyarakat untuk menikmati musik yang mereka sukai. Tak perlu lagi untuk mengeluarkan uang banyak ataupun menunggu lagu kesayangannya sambil mencoba menelpon radio untuk sekadar request karena internet telah menyediakan sarana mendengar lagu yang lebih mudah. Kepemilikan atas musik bukan lagi hal yang begitu eksklusif semenjak ia bisa didapat hanya dengan mengklik tombol dan menunggu file musik tersebut terunduh di komputer.

Pada tahun 2008 pula, dua pionir layanan streaming musik mulai mendapat panggung. Ialah Youtube dan Spotify yang berhasil mendapatkan hati orang-orang terutama pada dekade 2010’an. Sebabnya, salah satu masalah yang mengganjal para pengunduh musik bajakan ialah memori yang terbatas di dalam komputer mereka. Semakin banyak musik yang ingin mereka dengarkan maka semakin penuh pula penyimpan file mereka. Sedangkan, layanan streaming memungkinkan orang-orang untuk mengonsumsi musik (begitu pula film) tanpa perlu khawatir memori komputer mereka akan penuh. Begitu mereka ingin mendengarkannya lagi, maka mereka tinggal menyambungkan komputer atau gawainya dengan internet dan mengakses situs tersebut. Pun, ketika sedang offline para pendengar ini sudah diberi opsi untuk menyimpan beberapa lagu yang begitu mereka suka untuk didengar. Alhasil, masalah memori sudah terseleasikan oleh layanan yang diberikan oleh Spotify maupun Youtube ini. Budaya meminjam, ketimbang memiliki, membuat orang-orang justru lebih leluasa dalam memilih dan mendengarkan musiknya.

Tak hanya itu, algoritma Spotify pun membantu orang-orang untuk mengetahui seluk beluk dari musik yang mereka dengarkan. Tak heran apa bila kedalaman pengetahuan seorang pendengar musik semakin difalitiasi olehnya. Mereka pun mendapat rekomendasi tentang jenis-jenis musik yang belum pernah didengarkan selama periode tertentu. Di sisi lain musik-musik yang populer juga jelas terlihat pada laman depan perangkat ini, sehingga untuk menjadi snob tidak sesulit dekade 90’an di mana seseorang harus menghindari keramaian dan merogoh uang lebih banyak demi mendapat selera yang berbeda dan lebih elit. Kali ini, orang difasilitasi untuk hanyut dalam seleranya atau malah mengeksplorasi musik-musik tertentu yang ingin mereka dengar. Keleluasaan seseorang dalam mengonsumsi jenis musik apapun ini memunculkan apa yang biasa disebut sebagai culture omnivore, orang yang dapat menikmati produk budaya seperti apapun.

Lalu, apakah kemudahan akses terhadap segala jenis musik yang ditawarkan oleh layanan streaming ini lantas menghancurkan distingsi kelas melalui perbedaan selera ala Bourdieuan? Mungkin kita bisa berkata begitu untuk perkara jenis musik apa yang didengarkan seseorang; bahwa seseorang tak perlu lagi menjadi seorang yang elit perlente untuk mendengarkan jazz serta klasik, atau menjadi seorang prekariat kelas bawah untuk menikmati dangdut. Tampak pula bahwa pada dekade 2010’an muncul musik-musik baru di luar hegemoni industri musik Amerika dan Billboard. Dengan mudah orang menerima K-Pop atau bahkan musik-musik dari Amerika Latin sebagai hal yang populer. Musik dangdut pun mendapat popularitasnya di kalangan anak muda kelas menengah pada medio 2017 hingga 2018 melalui Spotify dan Youtube. Bahkan baru-baru ini Didi Kempot bersama campur sarinya lahir kembali bisa dinikmati oleh anak muda kelas menengah. Namun hal itu hanya berlaku bila kita berbicara perkara jenis musik yang didengarkan.

Kelas sosial tetaplah ada dan sejak akses musik dipermudah, ia mengejawantahkan dirinya dalam bentuk lain. Satu masalah yang dialami oleh Youtube, Spotifty, dan penyedia layanan musik digital lainnya adalah kualitas. Hingga saat ini sinyal digital masih belum mampu mengalahkan sinyal analog dalam perihal kualitasnya. Sedangkan file musik digital terbaik seperti FLAC pun memiliki ukuran yang begitu besar sehingga belum bisa ditawarkan oleh Spotify maupun Youtube. Lantas tak mengejutkan muncul kaum snob yang mengutamakan kualitas audio, atau biasa disebut sebagai audiophile. Mereka cenderung mencari kualitas terbaik dari musik yang didengarkannya, mulai dari mencari file FLAC, memberi perangkat suara terbaik, hingga bahkan membeli vinyl dan turntable. Di sisi lain orang juga menganggap bahwa konsumsi secara murah di spotify tak menunjukkan kecintaan pada sosok musisi tertentu sehingga diperlukan usaha lain seperti membeli album fisik atau bahkan mendatangi konser. Mungkin musik yang diperdengarkan sekarang bisa begitu luas dalam perkara genre, dan bisa juga sama antar satu kelas/kelompok dengan kelas/kelompok lainnya, tetapi cara mereka menikmatinya yang akan membedakannya.

Spotify beserta Youtube memang menawarkan cara mendengar yang baru dan lebih mudah serta murah bagi orang-orang. Algoritma mereka pun membuat orang lebih leluasa dalam mengeksplorasi selera musiknya sendiri-sendiri. Namun perkara distingsi kelas dan selera tak berakhir dengan luruhnya perbedaan genre ini. Perbedaan tetap ada dalam cara mereka mengonsumsi musik, bukan dalam musik apa yang mereka konsumsi (it’s not what, but how). Elitisme tetap terjadi dengan dalih bahwa: ada cara mendengar yang lebih baik ketimbang cara mendengar yang lain. Selera bukan lagi hanya perkara musik apa yang didengar, tetapi seberapa baik kualitas musik tersebut secara audio, visual, dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka

Beaumont-Thomas, B. dan Snapes, L. (2019). Has 10 years of Spotify ruined music?. [online] the Guardian. Terdapat pada: https://www.theguardian.com/music/2018/oct/05/10-years-of-spotify-should-we-celebrate-or-despair [Diakses 22 Oktober. 2019].

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste. Oxford: Routledge.

Peterson, R. A., & Kern, R. M. (1996). Changing highbrow taste: From snob to omnivore. American Sociological Review, 61(5), 900–907.

--

--

No responses yet