Punk dan Kematian Perlawanan
Ini adalah draft pengantar buku saya selanjutnya yang ditolak oleh penerbit karena dianggap tak layak dikonsumsi pembaca awam. Saya masih terlalu sayang untuk membuang teks ini sehingga lebih baik dipajang di sini saja. Selamat membaca.
Punk sebagai budaya-tanding (counter-culture) bisa dibilang merupakan fenomena kultural paling mengenaskan dalam tiga dekade terakhir. Ia lahir dengan cita-cita menggebu-gebu sebagai gerakan paling nyentrik yang menentang seluruh konformitas dan kemapanan di dunia. Tak tanggung-tanggung, ia menjamah segala lini budaya populer mulai dari buku, film, hingga musik untuk mencanangkan impian delusional ini. Pun dalam waktu yang begitu cepat, semua jargon dan slogannya telah merasuki jiwa-jiwa anak muda untuk menjadi yang paling berbeda dan menantang. “Lawanlah segala kenyamanan dungu itu!” seakan menjadi semboyan yang terus mengiringi tindak-tanduk khayali mereka. Namun, pernahkah sekalipun kita benar-benar merasakan perubahan yang diusung mereka?
Sejenak coba kita ingat-ingat secara singkat bagaimana mereka lahir untuk mengamini paragraf di atas. Ia lahir dengan semangat perlawanan untuk menggantikan subkultur hippies yang dianggap gagal menjadi budaya-tanding. Segala perihal kebebasan berwarna-warni dan penuh kesantaian berbunga-bunga yang diagungkan oleh kaum candu itu dilibas olehnya. Punk menganggap bahwa hippies, sebagai suatu budaya-tanding, telah murtad dengan menjual diri mereka pada pasar. Ia menentang seluruh identitas hippies dengan mengenakan hal-hal yang lebih kelam dari jaket kulit hingga sepatu boot Docmart (yang mahalnya minta ampun bagi Si Miskin). Namun setelah tiga dekade berlangsung tampak, jelas bahwa ia telah dikooptasi, bila tak boleh disebut melacurkan diri, oleh pasar. Nyatanya, durasi yang lebih lama tak bisa menjamin perlawanan mereka bisa benar-benar ajeg di hadapan khalayak umum — yang hidup dengan aman serta nyaman.
Pun anarkisme yang dianggap sebagai napas mereka tak dapat berbuat apa-apa. Perlu kita ingat sekali lagi bahwa perlawanan yang diusung oleh anak-anak muda kala itu (pasca PD II) adalah penentangan terhadap kapitalisme maupun komunisme. Mereka-mereka yang edgy serta intelek telah menganggap bahwa dua pemikiran ini telah gagal dalam mengoperasikan berbagai hal di dunia. Tak ada kata selain membangkang terhadap pasar maupun kekuasaan otoriter. “Tak boleh lagi ada pemaksaan apa lagi pemasaran karena yang kita inginkan adalah kebebasan, kemerdekaan untuk menentukan jalan hidup sendiri!” Dan oleh sebab inilah anarkisme mereka pilih sebagai panji-panji gerakan. Di akhir abad ke-20 akhirnya kita lihat sendiri bahwa gerakan kiri menginkarnasikan dirinya pada berbagai macam budaya populer. Nyatanya, musik, gambar, dan tulisan-tulisan berupa zine tak pernah menjadi perlawanan yang berarti. Alih-alih membuat suatu kebaruan, mereka justru semakin menguntungkan pasar. Apa coba yang perlu ditakutkan bila begini?
Mungkin seluruh penjelasan di atas tak bisa membuat kalian percaya. Jelas saja, tak ada yang bisa dengan mudah dipercaya di era digital yang penuh dusta ini. Selama ini kita terlalu banyak mengagumi Punk sebagai gerakan perlawanan yang begitu hebat. Ia menciptakan banyak anak muda penuh keberanian yang menyerukan pemberontakan di mana-mana. Belum lagi musiknya di berbagai media membuat banyak orang merinding, kenyamanan apa pun yang dijalani masyarakat tanpa ampun dihabisinya dengan berbagai kritik. Namun mengamininya begitu saja tanpa mengkritisi ulang secara historis adalah suatu ketololan.
Sebelum debat kusir terjadi dengan berbagai sesumbar kosong, maka ada baiknya kita bersama-sama menilik sejarah Punk dari rahim hingga nisannya. Toh, tak ada kritik yang lebih baik selain mempelajarinya sedalam mungkin. Pun dari sini nantinya kita masih dapat mengapresiasi, meski sepeser saja, kisah mereka. Tiga dekade fenomenal itu rasanya memang tak bisa disepelekan begitu saja.
Buku ini akan berfokus pada dekade pertama kelahiran punk (1970-an) di empat kota dan dua negara yaitu: Detroit, New York, London, dan Machester. Pembahasan yang sempit ini ditujukan agar pembaca mengerti konteks awal kelahiran punk yang tak bisa dibilang sepenuhnya revolusioner meski akhirnya juga mendapat sorotan dari kalangan pemuda kelas pekerja. Dua dekade selanjutnya (80-an dan 90-an) akan dibahas pada buku lain bila ada kesempatan untuk meriset ulang dan membahasnya secara mendalam. Kiranya, awal kelahiran punk adalah masa-masa yang sering terlupakan sebelum orang-orang terkesima dengan perlawanan yang dijual oleh MTV dan label-label besar hanya demi meraup keuntungan. Konteks awal musik rock sampah tanpa skill ini sering kali dilupakan meski memang tak pernah memiliki esensi.
Tanpa menyepelekan perkembangan punk pada dekade-dekade pasca 70-an (meski memang terkesan begitu penuh bau perdagangan, terutama pasca 1985), buku ini bermaksud memberi refleksi lebih mendalam atas kealpaan kita atas musik sederhana kulit putih yang diperebutkan demi mencari konsumen-konsumen kaum pemuda. Semoga pencerahan bahwa menyebut suatu subkultur sebagai budaya tanding (counterculture) bisa segera mendapat pencerahannya setelah seluruh halaman buku ini terbaca. Bila tidak, maka nantikan buku lain tentang dua dekade selanjutnya dari perkembangan subkultur punk.
Salam.