Review Album: Rand Slam — 9051

Atolah Renanda Yafi
5 min readApr 22, 2020

--

“Di panggung mendominasi, di dapur indomie nasi”

“Karena kertas perlu sajak, maka pena perlu saya”

Label: Grimloc

Watchful Shots: “Tak Akan Jatuh”, “Nirojisasi”, “Mewaris Bara”.

Rating: 6,5/10

Berani, tegas, lugas, serta yakin akan diri serta prisipnya mungkin adalah pribadi yang ingin ditunjukkan oleh Rand Slam dalam album keduanya ini. Sebelum mendengar satu detik pun dari album ini kita telah disuguhkan dengan cover yang begitu mencolok; sebuah foto Rand Slam sedang dikepung oleh polisi kala penggusuran di Taman Sari, Bandung beberapa bulan yang lalu. Jelas sekali dalam foto tersebut, yang entah mengapa diambil pada momen yang begitu tepat, ia menunjukkan dirinya sebagai seorang tetap melawan meski sendirian sekalipun. Lalu bagaimana dengan perkara tone foto tersebut? Mungkin tentang gelapnya sajian yang ia hidangkan dalam album ini. Judul album ini sendiri, 9051, yang bisa juga kita baca sebagai “gosi” merupakan kata dalam bahasa papua yang bisa kita artikan sebagai kontol, walaupun penggunannya ialah untuk umpatan.

Dalam 9051 sendiri Rand Slam bisa dibilang memang memfokuskan karyanya pada dirinya sendiri, meski pula tak bisa dibilang sebagai karya yang narsistik. Lebih-lebih, ini ditunjukkan oleh single album ini, yaitu “Mewaris Bara”. Ia dengan begitu percaya diri merapalkan proses yang ia tempuh untuk menempa diri sendiri, sambil melakukan drop name pada beberapa rapper pendahulu yang ia sebut sebagai mentornya. Tak lupa hal ini ditambahkan pula dengan sedikit diss dengan “Banyak rapper masa kini, liriknya hanya segini / Aku tertawa, tapi aku tak salahkan”. Meski begitu kesombongan serta segala serapah yang ia lontarkan perkara diri dan segala proses karyanya tak bisa serta merta disebut omong kosong, mengingat lagu ini memang mengandung struktur yang cukup matang mulai dari rima bertingkat dengan multisilable dan komposisi beat padat dengan scratch yang menguatkan bagian hook up. Keangkuhannya yang setidaknya masih terbayar dengan teknik yang tak asal-asalan.

Tak cukup dengan “Mewaris Bara”, Randslam menyajikan track-track lain penuh bragg, diss, serta braggadocio pula pada “Tak Akan Jatuh” dan “Kingrandslam” (KRS). Tiga lagu ini bisa dikatakan adalah satu paket, atau bahkan trilogi kedirian Rand Slam, dalam menjelaskan pribadi serta pandangannya tentang dunia rap itu sendiri sejak ia mulai terjun dan dipandang orang. Meski memang tiga track ini merupakan senjata menarik untuk dibawa di atas panggung, di sisi lain ia menyiratkan PR lain bagi Rand Slam sendiri. Mengingat bahwa cover album maupun ketiga track ini menejelaskan seberapa matang dirinya, hal itu bisa berarti ia mengutarakan psywar pada MC lain atas skillnya yang perlu dibuktikan pula pada karya lanjutannya sebagai bentuk konsistensi. Setidaknya ini — bisa kita maknai — menandakan bahwa ia masih harus membuat karya berupa album lainnya sebagai bukti bahwa segala serapah itu bukan sekadar sampah.

Satu hal menarik tampak kolaborasinya dengan Krowbar di track “Nirojisasi”. Kali ini terlihat satu pembawaan berbeda di mana ia menyajikan cadence yang menyeret-nyeret disertai lirik penuh kata-kata kasar serta kotor ala Krowbar. Pembawaan seperti ini yang bukan asal menyajikan dua gaya berbeda dalam satu track, tetapi membuat dua MC tampak serupa meski berbeda, justru menjadi cara Rand Slam menegaskan dirinya sebagai MC yang tetap bisa mengimbangi Krowbar dengan tidak berada pada kenyamanannnya.

Track-track bagian belakang mungkin adalah inkarnasi dari album ini sebagai wujud umpatan kepada aparat maupun negara, entah itu secara eksplisit maupun eksplisit. Sebagaimana pada “Prosa Eksil”, ia membawa berbagai kritik sosial atas berbagai isu lewat flow dan beat yang lebih lambat dan gelap ketimbang track-track sebelumnya. Seakan sedang berada dalam bagian menegangkan dari film, kali ini Rand Slam lebih seperti berkotbah di tengah kecamuk politik.

Ada pula interlude yang dibawakan Jason Ranti diselipakan di tengah-tengah. Ini tak lebih dari omongan ngelantur Jason Ranti tentang Rand Slam yang diselipi musik sedikit jazzy. Tak terlalu penting, tetapi cukup menghibur untuk bernapas di tengah-tengah.

Track “Dia” mungkin adalah satu tema paling berbeda dalam lagu ini. Diawali dengan chorus — yang lebih mirip kumpulan doa dan harapan — dengan sample “The Runaways” dari Babe Ruth adalah sentakan gelap yang cocok untuk merenungi depresi yang ia alami.

Tiga track terakhir, dari “9051”, “Praduka”, hingga “Arso” adalah serapah lain yang ditujukan Rand Slam tentang Papua dan isu-isu politis di sekitarnya. Sebagai orang Makasar yang besar di Papua dan akhirnya hidup di Jawa, ia dengan jelas menegaskan bagaimana sikapnya terhadap perjuangan kemerdekaan Papua, perlakuan semena-mena Indonesia terhadap Papua, dan pesan-pesannya sendiri terhadap anak-anak Papua. “9051” mungkin lebih jelas soal bagaimana pemerintah, Papua, serta berbagai kejadian biadab yang menyelimuti keduanya; sikap politis serta prinsipnya begitu jelas di sini. Sedangkan “Praduka” dan “Arso” ialah pesan serta ceritanya kepada orang-orang Papua itu sendiri, meski begitu “Arso” lebih terdengar sebagai track dengan konten yang sudah terasa basi sebelum didengar sampai selesai. Ini tak lain perkara yang disebabkan oleh berbagai tema yang terus diulang Rand Slam dalam berbagai lagu, ia tampak kekurangan variasi dengan konten dalam album ini.

Bila 9051 adalah album yang bisa kita katakan sebagai umpatan — sebagaimana arti dari gosi itu sendiri — tampaknya Rand Slam kurang keras dalam berserapah, apa lagi dalam jangka waktu yang lama, yaitu satu album. Kerasnya 9051 hanya terasa pada track-track di tengah album saja dengan tema yang sudah jelas: dirinya sendiri dan sikap politisnya terhadap Papua. Hal-hal di luar itu tak lain adalah repetisi dengan pembawaan dan lirik yang tampak berbeda saja. Ada kebosanan yang hadir sebelum album ini didengarkan hingga selesai.

Bahkan pembuka maupun penutup album ini tak bisa membawa imaji yang kuat; jauh berbeda dengan foto yang ia pasang sebagai cover di sini. Imaji kerasnya 9051 bisa runtuh bila seseorang mendengarkan album ini runtut dari track awal ke akhir, apa lagi bila sebelumnya tak pernah mendengar single “Mewaris Bara”. “Makadam”, misalnya, ketimbang menjadi gerbang yang baik untuk memberi jalan kepada kerasnya lirik-lirik Rand Slam, justru menjadi track penyambut yang kurang kuat untuk membuat orang-orang ingin lanjut ke track selanjutnya. Pesannya terlalu samar, apa lagi dengan beat dan flow yang kurang kuat. Alih-alih menceritakan kerasnya pilihan hidup, ia justru memberi penghambat bagi pendengar untuk meneruskan perjalanan dalam satu album.

Bagian penutup album ini sendiri alih-alih memberi pendengarnya memori dan imaji yang akan terus-terusan menancap sembari menikmati after effect­ dari segala serapah Rand Slam, justru hanya memberi kebosanan dengan tema yang makin memuakkan begitu album akan berakhir. Ini bukan berarti bahwa konten dalam album ini kurang menarik atau tak punya kualitas, melainkan bahwa komposisi album ini sendiri terlalu kerap menyajikan kejemuan bagi pendengarnya. Mungkin Rand Slam memang memiliki kualitas lirik serta rima yang menarik (didukung dengan susunan homofon, homonim, serta homograf yang apik), tetapi ia masih punya banyak PR untuk album selanjutnya, apa lagi bila cadence dan flow yang ia bawa terus-terusan seperti itu saja. Ketimbang terus-terusan berpuas diri dengan segala kesombongannya di album kedua, ada baiknya Rand Slam menyiapkan komposisi album yang lebih baik untuk album selanjutnya sebelum para pendengarnya terjatuh dalam jurang kejemuan serta kejemuan. Beruntung jika mereka tak terjerumus dalam kemuakan pula.

--

--

No responses yet