Review: Princess Mononoke [1997]
Alam menengadah kepada kita, tak ada yang lebih berkuasa kecuali dirinya sendiri.
Siang itu Ashitaka merasa ada sesuatu yang tak beres dari arah hutan. Bersama dengan elk-nya (semacam rusa) ia bergegas menuju salah satu tetua desa untuk menanyakan apa yang terjadi. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan dua orang bocah, pun mereka hendak menuju desa untuk mengabarkan bahwa tampaknya ada bahaya yang akan tiba. Sesampainya di tempat tetua, ia diberi tahu bahwa ada iblis jahat penuh kebencian yang sedang menuju desa.
Tak berapa lama mahluk itu pun muncul, berkaki enam seperti serangga, bermata merah bagai darah, memiliki badan sebesar badak, dan ditutupi oleh hewan semacam lintah yang melayang-layang di sekujur tubuhnya. Ashitaka berusaha melawannya dan tetua hanya berpesan agar jangan sampai ia menyentuh mahluk itu atau kutukan akan menyertai dirinya. Naas benar, tangan Ashitaka harus bersentuhan dengan lintah-lintah tersebut ketika sedang mengalahkan iblis yang ternyata berwujud asli babi hutan raksasa itu.
Malam harinya penduduk desa terpaksa mengasingkan Ashitaka karena kutukan yang menempel di tangannya sudah pasti akan membuat dirinya mati.
Tak ada pilihan lain.
Potongan cerita di atas adalah awal dari film Princess Mononoke. Seorang tak berdosa terpaksa menerima kutukan justru karena ia berusaha menyelamatkan desanya dari marabahaya. Sekilas mungkin ini menjadi hal yang janggal, bahkan hingga akhir film, tetapi mungkin begitulah cara Hayao Miyazaki menjelaskan pada penontonnya bagaimana alam bekerja. Tentu, tanpa perlu menuturkannya secara langsung.
Princess Mononoke adalah cerita yang dibawa oleh protagonis Ashitaka, tetapi memiliki beberapa kisah berbeda bila dilihat dari beberapa tokoh utamanya. Bisa dibilang, film ini berusaha menunjukkan pertautan keempatnya sebagaimana kehidupan yang mengandung ribuan kisah yang saling berkelindan satu sama lain.
Pertama, seperti yang telah dituturkan di atas, ialah kisah tentang Ashitaka yang terkena kutukan, diasingkan dari desanya, dan akhirnya mengembara demi mencari cara untuk menghilangkan kutukan tersebut.
Kedua, Jigo, seorang yang menolong Ashitaka di tengah desa. Ia begitu menginginkan kepala dewa rusa yang tinggal di huta keramat untuk dipersembahkan ke kaisar. Alasannya sederhana: demi uang. Pun ia memengaruhi Ashitaka untuk pergi ke hutan keramat (dengan alasan bahwa bisa saja kutukannya disembuhkan di sana) sebagai pancingan atau mungkin tikus percobaan.
Ketiga, Lady Eboshi, ia adalah pemilik desa pengerajin besi yang terletak di dekat hutan keramat. Sebagai pemimpin, yang tampaknya mencintai pekerjanya, ia hanya ingin menghabisi para dewa hutan agar rakyat selamat dari ancaman dan pekerjaan lebih mudah dilakukan.
Terakhir ialah San, atau Princess Mononoke. Ia adalah anak perempuan yang dulunya, ketika masih bayi, ditelantarkan di hutan keramat dan akhirnya diadopsi oleh Mono, dewa serigala. San adalah seorang manusia yang merasa dirinya adalah seekor serigala. Pun, ia begitu membenci manusia karena mereka telah merusak alam demi ketamakannya sendiri. Keinginan San sederhana: membunuh Lady Eboshi dan mengusir (atau mungkin melenyapkan) para manusia. Di sisi lain, Lady Eboshi ingin membuat San menjadi manusia seperti yang lainnya.
Dalam pertautan kisah yang berbeda dengan motif yang beragama ini, Princess Mononoke adalah film yang piawai untuk menunjukkan bahwa tak ada yang murni hitam-putih dalam berbagai kisah di dunia. Susah untuk mencap secara moralis apakah satu tindakan itu jahat atau baik dan sebagainya, apa lagi untuk setiap tokoh di dalamnya. Ambivalensi atau keabu-abuan mungkin adalah kunci keindahan dari film ini.
Ashitaka, misalnya, berada dalam kisah egosentris untuk menyembuhkan dirinya sendiri sembari mencari tahu apa penyebab dari semua itu. Ia sempat ingin membunuh Lady Eboshi (yang belakangan diketahui telah menyiksa dewa babi hutan), tetapi hal itu tak akan menyelesaikan masalah dan justru memperbesar amarah iblis yang telah bersatu dengan tubuhnya. Ia bukan tokoh yang sepenuhnya baik (dan motifnya cenderung egois), tetapi di sisi lain juga bukan tipikal protagonis heroik yang ingin menyelamatkan segala-galanya; peran berbagai tokoh justru saling berkelindan dalam menciptakan happy ending dalam Princess Mononoke. Menganggap kisah ini sebagai cerita perjuangan Ashitaka semata (meski ia memang tokoh sentral) rasa-rasanya terlalu reduksionis. Peran Ashitaka di sini malah bisa dibilang sebagai pemandu bagi para penonton belaka.
Lady Eboshi di sisi lain hanyalah tipikal manusia yang menyayangi sesamanya dan mau tak mau harus merusak hutan demi itu semua. Pun tokoh-tokoh lainnya memiliki standar kebajikannya masing-masing dalam bertindak di film ini yang satu sama lainnya saling berbenturan; entah itu Jigo dengan segala siasatnya dalam mencari harta, atau San dan para hewan yang ingin melindungi sesamanya tetapi justru dengan amarah dan kemurkaan. Sangat sulit rasanya untuk membaca konflik dalam film ini dengan hubungan yang dikotomis atau bahkan berwujud oposisi biner: manusia versus alam atau hewan misalnya. Justru, di sisi lain, ada pula konflik antar manusia maupun antar hewan yang tak bisa dilupakan.
Mungkin justru apa yang dituturkan dalam Princess Mononoke ialah keseimbangan antar elemen alam itu sendiri. Ia tak antroposentris dengan mengatakan bahwa manusia yang bertanggung jawab dalam merusak alam dan oleh sebab itu mereka yang pula akan menjadi pahlawan yang memperbaikinya kelak. Pun para hewan dengan dewa-dewanya tak bisa serta merta dengan seenaknya menyalahkan manusia dan seenaknya membuat kehancuran lain dengan membunuh manusia melalui amarah murkanya.
Bisa dibilang bahwa yang perlu digali ialah titik negosiasi di antara berbagai elemen tersebut, yang justru memang lebih sering bertemu dalam kekerasan, kebengisan, serta lautan darah. Dalam Princess Mononoke mungkin titik temu ini bisa ditemui begitu dewa rusa kehilangan kepalanya, menghancurkan hutan sebagai bentuk kemurkaan, dan memperbaikinya lagi begitu kepalanya telah kembali. Dalam sekejap seluruh alam mengetahui akibat dari perseteruannya sendiri dan apa yang seharusnya mereka lakukan satu sama lain, tak ada tokoh sentral yang mati, tetapi mereka menngetahui tindakan apa yang sebaiknya dilakukan. Sayang sekali, dengan segala hal yang terjadi di alam, tak semudah itu manusia mengilhaminya dalam kenyataan yang kita alami.
Princess Mononoke dengan keindahan animasinya (yang seakan kumpulan lukisan), scoring serta soundtrack Joe Hisasi, dan penuturan yang pada serta berimbang dari kisah hingga peran tiap karakter adalah penggambaran kesempurnaan dunia yang diinginkan Studio Ghibli. Dan seperti biasa, di akhir film kita lagi-lagi harus tersadar bahwa hidup tak seindah dunia dalam tuturan Miyazaki. Setidaknya, ia berhasil menghibur kita dengan salah satu mimpi paling sempurna; indah dan memaksa kita untuk terbangun di akhir kisah.
9/10