The Wailing dan Kebenaran yang Begitu Jamak

Atolah Renanda Yafi
4 min readOct 9, 2021

--

Tak ada kebenaran yang perlu kita cari, dan mungkin ia hadir untuk dipercaya belaka. Tak lebih.

The Wailing, sebagai sebuah film yang kerap dianggap horror, menyajikan bagaimana manusia menghadapi kebingungannya dalam mencari jawaban atas segala mengapa yang terdapat di dunia, kematian utamanya. Pun, lewat filmnya ini, Na Hong Jin dalam wawancaranya dengan theplaylist.net menyatakan bahwa selama ini mudah bagi kita untuk menyalahkan berbagai hal setelah mendapati salah satu orang terdekat kita meninggal tanpa alasan yang jelas. Mudah pula bagi kita untuk mempertanyakan serta menjawab bagaimana semua itu bisa terjadi, bagaimana kita akhirnya menyalahkan dan membenci sesuatu untuk mendapat pembenaran atas kematian-kematian yang tampak ganjil bagi nalar kita. Namun, apa daya, tak pernah ada upaya bagi kita untuk menjawab perihal mengapa. Tak pernah ada sebab yang bisa kita ketahui karena ia sudah terlanjur tersingkap dalam ketidaktahuan yang tak terjelaskan.

Diawali dengan kematian-kematian tanpa penyebab jelas yang terjadi di desa Goksung, Jong Goo (Kwak Do-won) bersama kawan-kawan polisinya mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa tersebut. Setiap kematian janggal yang terjadi di desa tersebut selalu disertai dengan hal-hal yang janggal seperti seseorang yang tiba-tiba membunuh seluruh anggota keluarganya. Pun, sang pembunuh selalu terjangkit penyakit kulit yang konon disebabkan oleh jamur. Selain ciri-ciri itu, tak ada motif yang terjelaskan dalam setiap pembunuhan tersebut. Di sisi lain, rumah-rumah tempat pembunuhan tersebut terjadi selalu memiliki tempat ritus, jimat-jimat yang sudah layu, dan penanda-penanda mistis lainnya.

Sontak, hal ini membuat kebingungan di antara para polisi yang menyelidiki kasus tersebut. Ada yang menduga bahwa ini semua merupakan efek dari jamur yang menjangkiti para pembunuh, sedangkan yang lain berpendapat bahwa bisa saja hal ini merupakan sesuatu mistis dan di luar nalar manusia.

Bersamaan dengan rangkaian kematian tak terjelaskan tersebut, seorang jepang (Jun Kunimura) baru saja tiba di Goksung dan hidup menyendiri di balik bukit. Orang-orang desa meyakini ia merupakan penyebab segala kejadian janggal yang baru-baru ini terjadi di Goksung, entah karena ia merupakan jepang (ada anggapan bahwa orang-orang korea memiliki sentimen buruk terhadap orang jepang) atau karena perangainya yang begitu aneh sejak tiba di desa itu. Rumor-rumor tentang berbagai perangai buruk dari si Jepang beredar di kalangan polisi dan mereka mulai mencoba menginvestigasinya meski tanpa bukti yang kuat, alih-alih mencoba mencari penyebab saintifik dari wabah tersebut melalui para dermatologis.

Hingga akhir film, tak ada jawaban lugas atas segala pertanyaan yang menyelimuti Goksung setelah berbagai kematian janggal tadi. Semua dibiarkan terbuka dengan open ending dan penonton dibiarkan berdebat atas apa yang sebenarnya terjadi di balik keanehan-keanehan ini. Na Hong-jin sendiri, sebagai sutradra, juga menyatakan bahwa ia sengaja membuat semuanya terbuka tanpa jawaban karena memang begitulah yang terjadi di dalam kehidupan kita, terutama setelah ia menyaksikan berbagai kematian janggal di sekitarnya pasca menggarap The Yellow Sea (film kedua Na Hon-jin).

Apa yang membuat menarik The Wailing ialah bagaimana ia menempatkan berbagai simbol secara kelindan dalam satu film. Kita akan mendapati ayat-ayat injil (Lukas 24:37–39) secara literer maupun tak langsung seperti Yohanes 8:7 dan kejadian Petrus menyangkal Yesus (Denial of Peter) dalam tokoh perempuan misterius (Chun Woo-hee). Sebagaimana The Chaser (film pertamanya), Na Hong-jin masih menempatkan elemen-elemen kristen dengan kuat dalam The Wailing. Bersamaan dengan itu pula ia memberi elemen-elemen mistis lain dari shamanisme, entah itu dari si orang jepang maupun shaman Korea (Hwang Jeong-min). Bersamaan dengan itu semua, jamur sebagai penyebab yang kiranya rasional dan saintifik dalam film ini juga tak luput mendapat perhatian.

Hingga saat ini saya telah menonton The Wailing belasan kali dengan teman yang berbeda-beda untuk mengetahui reaksi dan tebakan mereka atas apa yang coba dijelaskan oleh film ini. Kawan-kawan yang berlatarbelakang saintek kerap kali percaya bahwa semua yang ada di film ini hanya perkara wabah dari jamur dan berbagai halusinasi yang dialami oleh warga desa, tak lebih. Tak ada yang di luar nalar dalam film ini, begitu pendapat mereka.

Sedangkan Mereka yang percaya pada kepercayaan lokal mencoba menjelaskan bahwa ini semua adalah akibat tercerabutnya masyarakat desa tradisi mereka dan makin jauhnya mereka dari roh penjaga desa (tokoh yang menurut mereka diperankan oleh Chun Woo-hee) dan justru memilih shaman dari luar desa yang tampaknya justru tampaknya mengkomodifikasi ketakutan warga desa atas hal-hal mistis.

Selain dua pendapat tersebut, masih banyak pendapat orang-orang atas film ini. Entah itu terkahir sentimen orang korea terhadap orang jepang, nilai-nilai kekristenan yang coba dimunculkan dalam film ini, maupun perkara shamanisme dan kejanggalan-kejanggalan lainnya. Bagi saya, tak pernah ada kebenaran yang sepenuhnya bisa terkuak dalam The Wailing. Kebingungan kita ketika menyaksikannya tak berbeda dengan kebingungan Jong-goo ketika mendapati anaknya mulai sakit kulit dan berperilaku aneh. Tindakan-tindakannya yang plin-plan, sembrono, dan tak tentu arah adalah hasil akumulasi dari kebingungannya mencari apa yang benar dan apa yang bisa dipercaya dalam kondisi seperti itu.

The Wailing merupakan representasi dari dunia yang kita hidupi; dunia yang penuh atas narasi kebenaran dengan berbagai versinya. Satu sama lain saling berkelindan dan bisa diyakini, tapi tak pernah kita tahu apakah kebenaran itu tunggal, jamak, atau bahkan tak ada sama sekali. Apa yang bisa kita lakukan mungkin hanyalah memilih meyakini yang mana atau bahkan tak memercayai semuanya sama sekali.

--

--